Readtimes.id– Tak hanya harus bersiap untuk kehilangan tempat tinggal, ribuan warga sipil di Palestina juga harus bersiap untuk kehilangan anggota keluarga mereka ketika eskalasi konflik antara Hamas dan tentara Israel mulai meninggi. Dan ironisnya hingga kini tak ada satu pun negara di dunia yang tahu kapan konflik perebutan wilayah tersebut akan berakhir.
Jutaan kecaman, upaya mediasi, dan berbagai upaya resolusi konflik telah ditawarkan oleh negara-negara di dunia melalui forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), namun tak kunjung berbuah manis selain gencatan senjata sesaat yang sewaktu-waktu bisa diakhiri begitu saja oleh salah satu pihak.
Terhitung sejak tahun 1948 dalam Resolusi 181 yang diterbitkan oleh Majelis Umum PBB yakni tentang rencana pembagian Palestina, yang menyatakan bahwa Jerusalem– sebuah wilayah yang menjadi jantung konflik Palestina dan Israel, dinyatakan sebagai entitas terpisah (corpus separatum) yang tidak akan dimiliki oleh siapapun dari kedua pihak yang berkonflik, melainkan akan dikelola oleh rezim Internasional dalam hal ini PBB dan telah ditegaskan kembali pada Resolusi 303 (1949), justru nyatanya berakhir dengan respon yang tidak mendamaikan dari pihak Israel, yang pada Juli 1980 mengesahkan sebuah undang-undang yang secara sepihak menyatakan bahwa Jerusalem adalah ibu kota Israel.
Namun demikian meski mendapat kecaman dari dunia karena telah melanggar hukum Internasional, seperti yang terjadi hingga hari ini Israel tetap tutup telinga, terlebih saat mendapatkan dukungan dari negara adikuasa ,Amerika Serikat, seperti yang kemudian berusaha dijelaskan oleh Agussalim Burhanuddin seorang pakar studi keamanan dan politik islam dari Universitas Hasanuddin, pada readtimes.id menyoal resolusi konflik Palestina-Israel.
” Hal ini memang sulit dilakukan, bila melihat hingga hari ini respon Israel yang sangat unilateral yakni dengan membuat keputusan sepihak untuk mereka sendiri tanpa memikirkan yang lain, terlebih lagi sepanjang pergantian kepemimpinan negara besar seperti Amerika Serikat yang notabene sebagai pemilik hak veto, masih setia berada di belakang mereka. Dan dalam aturannya dewan keamanan PBB itu tidak bisa melanjutkan persidangan atau membuat keputusan ketika salah satu dari negara pemegang hak veto itu tidak sepakat, ” ujar dosen Hubungan internasional ini.
Pihaknya juga menyampaikan bahwa hingga hari ini belum ada negara yang mampu menyaingi atau bahkan mengintervensi AS dalam keterlibatannya sebagai penengah konflik di kawasan Timur Tengah khususnya kasus antara Palestina dan Israel, sekalipun China yang terlibat dalam persaingan dagang dunia dengan AS. Dan berkomentar terkait kekuatan negara- negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja sama Islam ( OKI), pihaknya memandang bahwa sejatinya pasca perang dingin dan Amerika Serikat tidak lagi memiliki pesaing yang sepadan, ini semakin melemahkan posisi mereka dalam menekan Israel. Selain itu dampak gelombang revolusi Arab Springs yang pernah terjadi juga membuat sebagian besar negara- negara Arab mengalami krisis internal sehingga lebih memilih berfokus pada kondisi dalam negeri.
” Jadi yang bisa dilakukan oleh negara- negara yang tergabung dalam OKI ini jatuhnya hanya sebatas pemberian kecaman tanpa bisa melakukan tindakan lebih. Kalau pun seperti Indonesia, Malaysia atau Brunei misalnya ingin mengupayakan sebuah resolusi itu mungkin saja jika negara-negara ini memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, sehingga memungkinkan untuk dilakukannya diplomasi formal sebagai jalan resolusi. Namun nyatanya kan kita tidak memiliki itu. Dan di Indonesia sendiri pun sebagian besar pihak belum memandang bahwa hubungan diplomatik dengan Israel itu sebagai jalur yang bisa ditempuh untuk menggas sebuah resolusi konflik , ” tambahnya.
Seperti yang diketahui Indonesia pernah berniat membuka hubungan diplomatik dengan Israel pada era Gus Dur namun tertunda karena mendapat protes dari banyak pihak khususnya dari kalangan umat Islam. Lebih jauh terkait upaya damai yang dapat diusahakan dalam konflik Palestina- Israel, Agussalim memandang bahwa sejatinya hal tersebut tidak terlepas dari dukungan aspek- aspek internal yang dimiliki oleh Palestina maupun Israel.
” Kita tentu ingat dengan pertemuan Oslo pada awal tahun 1990-an , dimana mempertemukan Yasser Arafat ( Palestine Liberation Organisation) dan Yitzhak Rabin PM Israel yang notabene bisa dikatakan merupakan perwakilan dari kelompok moderat dari kedua belah pihak yang pernah bersepakat untuk mau saling mengakui dan hidup bersama, dan itu merupakan pencapaian tertinggi selama konflik Israel- Palestina yang perlu dipelajari. Dan mungkin perjanjian Oslo itu akan diindahkan kedua belah pihak saat ini jika saja kelompok moderat terus mempertahankan pengaruhnya, ” ucapnya
Seperti yang diketahui baik Israel maupun Palestina sejatinya sama- sama memiliki kelompok moderat dan radikal. Dan sikap dari kedua pihak sangat ditentukan oleh rezim mana yang berkuasa. Palestina dengan partai Hamas dan Israel dengan partai Likud di bawah pimpinan Benjamin Netanyahu yang sama-sama berasal dari golongan sayap kanan garis keras saat ini, mungkin bukanlah kelompok yang tepat untuk diharapkan mampu menata damai konflik yang terjadi di antara kedua belah pihak dengan jalur perundingan. Namun bukan berarti lantas dunia boleh menutup mata dan lepas tangan untuk menyudahi perang 100 tahun itu.
Tambahkan Komentar