Readtimes.id– Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35/PUU-X/2012 tentang perlindungan hak adat pada praktiknya di lapangan belum membawa angin segar bagi masyarakat adat di Kalimantan Tengah.
Hal ini diungkap Dosen Universitas Gadjah Mada Tuti Budayanti Usop dalam penelitiannya yang berjudul “Disempowering Traditional Spatial Arrangement of Dayak Community: A Case Study of Tumbang Marikoi Village, Central Kalimantan, Indonesia”.
Penelitian ini mengungkap bahwa industrialisasi yang pesat dalam beberapa dekade terakhir secara signifikan telah mengubah tata ruang tradisional di Pulau Kalimantan Tengah. Praktik tersebut terlihat dari pengelolaan dan kepemilikan lahan hutan tradisional masyarakat adat dialihkan ke perkebunan sawit dan pembangunan perusahaan tambang.
“Tata ruang masyarakat adat pun akhirnya melemah hingga berakibat pada perubahan kondisi masyarakat dan sumber penghidupan mereka dari primer (hutan) menjadi sekunder dan tersier,” jelas Tuti dikutip dalam jurnalnya terbitan Forest Society, (5/21)
Dipaparkan lebih lanjut dalam jurnalnya, perkebunan karet yang dimiliki masyarakat Desa Tumbang Marikoi sebelum turun harga menyebabkan mereka menjualnya ke investor perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, masyarakat kehilangan tanahnya dan hutan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
“Efek spasial yang terjadi pun menunjukkan dinamika pembangunan yang mengutamakan aspek ekonomi tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan, ekologi, dan sosial,” tambah Tuti dalam jurnalnya.
Mega Haruna dari perpustakaan komunitas KataKerja turut menanggapi isu tersebut. Menurutnya, penelitian ini menunjukkan betapa kurangnya peran pemerintah dalam menangani keberadaan pihak swasta yang mengubah kultur sosial masyarakat adat. Hal itu terlihat dari ketimpangan regulasi penebangan pohon untuk masyarakat adat dengan perusahaan swasta.
“Regulasi penebangan pohon untuk masyarakat adat sangat diperketat. Kalau swasta yang buas sekali itu malah dibiarkan oleh negara,” ujar Mega pada Dialog Interaktif FStival di Gedung Ipteks Unhas, (21/5).
Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Harnita Rahman. Ia mengaku cerita masyarakat hutan adat memang jarang tersampaikan secara terbuka. Mirisnya lagi, Haruna membeberkan bahwa semua masyarakat adat mengalami masalah yang nyaris sama, salah satunya diceritakan dalam artikel ini.
“Saya kira bagus, dimana penelitian ini secara gamblang memaparkan bagaimana ladang karir masyarakat adat yang tidak bisa lagi berkebun karena lahan perkebunannya diambil, begitu pun sungai mereka tercemar karena penambangan emas. Jadi seakan-akan tidak ada yang disisakan untuk mereka,” tutur Harnita.
503 Komentar