Cerita besar karya para penulis besar senantiasa berkisah tentang hal-hal sederhana. Barangkali kita menganggapnya remeh, namun abadi. Kisah-kisah itu seperti tak mati-mati, meski hanya berupa gambaran hidup pada waktu tertentu di masa lalu. Kita seolah merasa kisah-kisah itu terjadi baru-baru saja, tak jauh dari lingkungan kita. Meski ada kisah yang membawa kita pada tanah asing, budaya yang asing, tapi arusnya mampu menyeret kita ke dalam pusarannya. Merasakan liukan spiral alirannya. Kita tenggelam, sekaligus menyelam.
Begitulah kesan yang kudapatkan seusai membaca sembilan buku kumpulan cerpen (kumcer) dari sembilan penulis besar: Honore de Balzac (Gairah di Gurun); Guy de Maupassant (Kalung); Leo Tolstoy (Tiga Pertapa); Fyodor Dostoevsky (Maling yang Jujur); John Walsgorthy (Pertemuan); Rudyard Kipling (Angkong Hantu); Rabindranath Tagore (Tetanggaku yang Cantik); James Joyce (Ibunda); dan Bret Harte (Gadis Lugu dari Sierra).
Sembilan buku kumcer tersebut adalah satu paket Seri Fiksi Ilmiah yang diterbitkan oleh penerbit Nuansa dan Jembar (enam buku dari penerbit Nuansa, tiga buku dari penerbit Jembar). Buku-buku itu tidak tebal, tak ada yang lebih dari seratus halaman. Malahan enam di antara buku itu berukuran kecil, serupa buku saku. Cerpen-cerpen yang dipilih pun tidak banyak untuk masing-masing penulis. Mulai dari dua sampai empat cerpen. Cerpen-cerpen yang diterjemahkan diupayakan yang menjadi masterpiece masing-masing penulis.
Bagi pecinta karya-karya cerpen klasik dari penulis besar tadi, barangkali tidak asing dengan beberapa judul cerpen yang telah disebutkan. Sekurang-kurangnya aku sendiri paling akrab dengan karya empat penulis di atas. Sebut saja ‘Kalung’ Guy De Maupassant, Petani ‘Marey’ Fyodor Dostoevsky, ‘Rumah Misterius’ Honore de Balzac, dan ‘Berapa Banyak Tanah yang Diperlukan Orang ‘Leo Tolstoy.
Sementara karya dari lima penulis lainnya aku relatif asing. Aku hanya pernah membaca syair Rabindranath Tagore, tidak novel atau cerpennya. Karya-karya James Joyce yang aku kenal hanya Ulysses dan Dublin, itu pun hanya pernah membaca salah satunya. Dua karya itu pernah diterbitkan oleh penerbit Jalasutra. Tiga penulis sisanya aku benar-benar tak menyentuh karyanya, nama mereka pun asing bagiku.
Kesederhanaan—seperti yang aku tulis pada paragraf awal—adalah kisah yang membaluti cerpen-cerpen sembilan penulis tadi. Kesederhanaan dalam artian kisah yang tak bertele-tele, tentang hal remeh-temeh, kisah keseharian, yang bagiku sepertinya mudah untuk dituliskan oleh penulis pemula. Tapi di tangan para penulis legendaris ini, kesederhanaan menjadi begitu bercahaya, cemerlang, dan penuh makna.
Guy de Maupassant, penulis Prancis yang berguru kepada sastrawan besar lainnya—Gustav Flaubert, membuat cerita yang selalu mengejutkan kita pada bagian akhir. Kalung adalah cerpennya yang membuktikan itu. Kisahnya tentang seorang wanita miskin yang menghilangkan kalung seorang teman perempuannya sepulang dari suatu pesta. Untuk menggantikan kalung itu, akhirnya ia dan suaminya harus berhutang dan bekerja keras bertahun-tahun. Perempuan itu menjadi kurus. Padahal, di bagian akhir kisah disebutkan, kalung yang ia pinjam itu hanya kalung imitasi.
Sebagian besar karakter cerita yang dibuat Maupassant seperti itu. Lain Maupassant lain pula de Balzac. Penulis yang juga berasal dari Prancis ini dikenal sebagai penulis yang erotik, melodramatik, dan realis. Penulis andalan Marx ini menulis cerpen yang membuatku merinding. Aku sangat menyukai ketiga cerpennya dalam buku kumcernya itu.
Dimulai dari Rumah Misterius yang benar-benar meremukkan tulang seusai membacanya. Ceritanya tentang kisah asmara yang gelap antara seorang tawanan perang Spanyol dengan Madame de Merret, istri seorang bangsawan. Saya merinding jika teringat bagian kisah di mana sang tawanan itu harus terkurung di dalam kamar mandi istri sang bangsawan. Sang suami memerintahkan pembantunya untuk membuat tembok kokoh yang memagari kamar mandi istrinya. Istrinya sudah bersumpah, bahwa tak ada siapa-siapa di dalam kamar mandinya.
Tapi ‘Gairah di Gurun’ adalah kisah paling menggetarkan yang ditulis Balzac. Ceritanya tentang persahabatan seorang tentara Prancis yang tersesat di padang pasir Mesir dengan seekor macan yang cantik. Membayangkan manusia yang rapuh dengan hewan buas bersahabat sangat intim jelas sesuatu yang mendebarkan. Di tangan Balzac, macan menjadi hewan yang penuh gairah, sebagaimana gairah seorang manusia.
Tolstoy dan Dostoevsky. Penulis yang sama-sama berasal dari Rusia. Membaca karya dua penulis legendaris ini membuat kita merenung mencari makna. Karya-karya Tolstoy sarat dengan pesan-pesan moral. Di sana ada filsafat dan religiusitas. Sebut saja ‘Berapa Banyak Tanah yang Dibutuhkan Orang?’. Kisah ini menyajikan satu tema moral tentang keserakahan. Seorang petani yang tak puas dengan jumlah tanah yang didapatkan, akibat keserakahannya ia meninggal. Ia meninggal dengan tanah yang sangat luas, namun pada akhirnya tanah yang benar-benar ia butuhkan hanya seukuran panjang badannya sebagai kuburannya.
Dostoevsky juga tidak jauh dari tema yang kerap dibentangkan Tolstoy. Batin manusia, itu yang menjadi eksplorasi terbesar pengarang yang disebut beraliran eksistensialisme ini. Tiga cerpen dalam kumcernya ini membawa pembaca masuk ke relung batin setiap tokoh ceritanya. Yang paling kuat, menurutku, dari ketiga cerpennya adalah Petani Marey. Kisahnya tentang seorang tawanan politik yang dipenjara di Siberia, yang karena suatu pengalaman masa kecil, batinnya tercerahkan, dan tak lagi memandang para tawanan lain yang berasal dari petani buruh kasar dengan pandangan merendahkan. Pengalaman itu pun hanya berlangsung sekilas. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia memiliki pandangan manusiawi yang memandang petani sebagai manusia, bukan sebagai binatang. “Tak ada orang lain yang menyaksikan perasaan-perasaan manusiawi yang halus dari seorang petani Rusia yang kasar dan bebal.”
Rabindranath Tagore dan Ruryard Kipling. Tagore kelahiran India, dan cerpen-cerpennya berkisah tentang kehidupan di India dengan warna yang nyaris seperti mendongeng. Alurnya juga penuh kejutan. Misalnya, Kerangka. Kisah tentang sosok hantu perempuan yang cerewet yang mengganggu tidur seorang anak kecil. Ia mengisahkan kepada anak kecil itu perihal asmaranya di masa lalu dengan seorang mahasiswa kedokteran yang berakhir tragis. Mahasiswa itu sekarang adalah guru yang dibayar untuk mengajar sang anak tentang tubuh. Mahasiswa itu menggunakan satu kerangka tubuh manusia. Dan ternyata, kerangka itu semasa hidup tak lain adalah perempuan kekasih sang mahasiswa kedokteran tersebut.
Rudyard Kipling, betapapun ia berkisah dengan latar kehidupan di India, ia bukanlah orang India. Namun dalam cerpen-cerpennya ini keeksotisan India, karakter-karakter tokohnya akan mampu membuat kita bertahan membacanya, dan terhibur. Angkong Hantu adalah cerita cinta yang tragis.
Ada sedikit kekonyolan dan kegilaan di sana. Kisahnya tentang seorang lelaki yang karena sebuah kesalahan di masa lalu hidupnya tak tenang. Ia gagal menikah karena kekasih lamanya mati dan terus menghantuinya. Kekasihnya datang dalam wujud hantu yang mengendarai sebuah angkong lengkap dengan pengawalnya. Orang-orang sudah menganggapnya gila.
James Joyce pengarang dari Irlandia. Ia disebut memiliki teknik menulis yang dikenal dengan stream of consciousness. Keempat cerpen di dalam kumcernya barangkali mewakili warna tersebut. Keempat cerpennya kental dengan latar Dublin—sebagaimana ia selalu hadirkan dalam semua karya-karyanya. Ada kisah tentang seorang Ibu yang begitu ambisius dalam membantu karir putrinya, tentang perempuan muda bernama Eveline yang belajar membuat keputusan,tentang seorang remaja yang jatuh cinta dengan gadis yang lebih tua darinya.
John Galsworthy dan Bret Harte. Karya-karya mereka di dalam kumcer mereka memang tak memiliki kemiripan, baik dalam tema maupun gaya penceritaan. Galsworthy sedikit lembut, Bret Harte agak liar. Galsworhty berkisah perihal pertemuan sepasang kekasih di sebuah kedai teh, tentang pembuat sepatu yang hanya mau membuat sepatu yang terbaik meski harus dibuat dalam waktu lama, tentang pria pegawai perusahaan asuransi kecelakaan yang harus cekcok dengan istrinya setelah dia menolong seorang wanita miskin yang cantik.
Bret Harte kental dengan warna kehidupan perkampungan-perkampungan orang-orang kecil. Kita disajikan dengan tokoh-tokoh yang memiliki karakter unik, penuh semangat, meski menghadapi dan menjalani hidup yang keras, kasar dan liar. Adegan liar tentang tembakan, pengusiran, pelarian, kejar-kejaran mewarnai cerpen-cerpennya. Meski begitu, sebagaimana telah dikatakan, karakter tokohnya penuh semangat. Jiwa beberapa tokoh ceritanya penuh pengorbanan, persahabatan, dan tak kenal menyerah.
Membaca kesembilan buku kumcer dari sembilan penulis besar ini membawa kita melintasi ruang dan waktu yang jauh. Namun begitu, seluruh efek yang diberikannya seusai membaca membawa kita kepada kemanusiaan yang tak kenal batas waktu. Memang benar adanya kata-kata pengantar editor buku paket Seri Fiksi Klasik ini: “melalui teks-teks sastra, terkadang kita disadarkan bahwa apa yang terjadi jauh di ujung dunia sana ternyata pada hakikatnya memiliki makna yang relevan dengan apa yang terjadi dekat di sini, dalam kenyataan hidup kita sehari-hari, entah itu berupa persoalan ketidakadilan, kisah cinta sepasang anak manusia, maupun ilusi-ilusi personal seorang individu. Semua itu membalik kesadaran kita akan adanya sebuah pijakan bersama di balik perbedaan-perbedaan yang tampak bahwa sesungguhnya kita adalah satu dalam semesta kemanusiaan.”
Membaca karya klasik, bagiku, selalu mampu membangun imajinasi yang membebaskan. Ia bukan jenis cerita yang sekadar menghibur lalu lepas begitu saja dari ingatan dan perasaan, sebagaimana biasa terkandung dalam banyak buku best-seller. Maka benarlah kata-kata Italo Calvino, pengarang asal Italia, “alasan utama membaca karya klasik adalah karena membacanya lebih baik daripada tidak membacanya.”
Tambahkan Komentar