Readtimes.id– Praktik plagiarisme dalam tataran perguruan tinggi terus menjamur. Banyak yang tercium baunya , namun tidak menutup kemungkinan masih banyak tersembunyi dengan rapi di balik h-index dan skor SINTA yang terus meroket
Caranya pun beragam dari yang mencomot hasil tugas akhir mahasiswa yang dibimbingnya atau bahkan terang-terangan menyadur tulisan milik dosen lain, serta karyanya sendiri
Seperti yang dilakukan oleh Felix Kasim seorang akademisi sekaligus rektor Universitas Kristen Maranatha Bandung, yang melakukan plagiarism atas skripsi milik Andini Dwikenia Anjani, yang berjudul Studi Kasus Program Pelayanan Kesehatan Dasar Gratis di Kota Banjar, yang kemudian diubahnya menjadi A Case Study Free Basic Health Services in Banjar City, West Java yang kemudian dipublikasikannya di prosiding pada mei 2011 silam.
Berikutnya adalah plagiarism yang dilakukan oleh Anak Agung Banyu Perwira seorang dosen dengan gelar profesor dari Universitas Parahyangan (UNPAR) yang terbukti melakukan penjiplakan terhadap karya Richard A. Bitzinger yang kemudian dipublikasikan di sebuah surat kabar berbahasa Inggris di Indonesia.
Atau yang terbaru pada tahun 2021 oleh Muryanto Amin yang harus menunda kenaikan jabatannya sebagai rektor Universitas Sumatera Utara terpilih karena melakukan plagiasi atas karyanya sendiri ( self-plagiarism)
Adalah Muhammad Ramli Rahim, seorang tokoh Pendidikan Indonesia menilai bahwa hal tersebut bisa terjadi karena adanya kesalahan dalam pola rekrutmen tenaga pendidik kita serta pembinaan dan pengembangan tenaga pendidik
” Pertama jelas itu tindakan yang tidak beretika dalam dunia pendidikan, apa lagi ini di dalam dunia pendidikan tinggi. Saya melihat adanya kekeliruan dalam rekrutmen tenaga pendidik kita serta pembinaan yang yang tak berlangsung dengan baik” terang Ramli yang kini juga tengah menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia ( IGI) itu.
Menurut pihaknya ini tak lain terjadi karena adanya nepotisme dalam pola rekrutmen tenaga pendidik, dimana tidak bergantung pada faktor kapasitas dan kapabilitas tenaga pendidik, melainkan karena adanya faktor kedekatan atau hubungan personal antar tenaga pendidik dan kampus yang menyelenggarakan seleksi penerimaan tenaga didik.
Ditambah ketika masuk dalam dunia pendidikan tenaga didik ini tidak lantas diberikan pembinaan untuk mengembangkan kapasitasnya sebagai tenaga didik misalnya dalam dunia kepenulisan atau bahkan penelitian
” Seperti Asosiasi Dosen Indonesia misalnya, ini kan sampai sekarang tidak jelas perannya apa. Seharusnya melalui asosiasi semacam ini tenaga didik atau dosen tadi diberikan pendampingan untuk meningkatkan kapasitasnya, minimal dalam penelitian dan penulisan ” tambahnya.
Jika sudah seperti ini lantas dimana lagi kita akan berharap nilai-nilai kejujuran dalam dunia penelitian itu akan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, jika kampus yang pada dasarnya menjadikannya sebagai salah satu dari pilar dalam Tri Dharma justru merobohkannya sendiri melalui ulah manusia-manusia bergelar yang gila akan kehormatan yang dapat menghalalkan segala cara dalam meraihnya?
Tambahkan Komentar