Readtimes.id–Penganugerahan profesor kehormatan dengan status guru besar tidak tetap kepada Megawati Soekarnoputri belum lama ini menambah daftar panjang praktik pemberian gelar kehormatan kepada politisi Tanah Air.
Sebelum Megawati, dalam setahun terakhir setidaknya ada sejumlah nama yang diberikan gelar serupa. Seperti Ketua DPR Puan Maharani yang diberikan gelar doktor kehormatan Universitas Diponegoro. Lalu ada Wakil Ketua Umum Golkar yang pernah menjadi Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid yang diberikan oleh Universitas Negeri Semarang.
Selanjutnya ada juga Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar yang menerima gelar dari Universitas Negeri Yogyakarta, dan Muhaimin Iskandar dari Universitas Airlangga.
Selain status politisi yang melekat dalam sejumlah tokoh tersebut, rekam jejak yang dinilai tak sesuai dengan kualifikasi penghargaan juga menuai pro dan kontra publik.
Pengamat Pendidikan, Muhammad Ramli Rahim, dalam keterangannya kepada readtimes.id, menyoal banyaknya fenomena pemberian penghargaan oleh kampus kepada beberapa tokoh publik. Ia mengatakan, pada dasarnya fenomena tersebut menunjukkan dalam praktiknya kampus hari ini sangat dipengaruhi persoalan politik.
“Ujungnya kampus atau perguruan tinggi kita hari ini tak lebih dari sekedar cari muka dengan memberikan penghargaan kepada tokoh publik maupun politisi yang dinilai memiliki pengaruh, yang harusnya tak seperti itu,” terang Ramli.
Adapun latar belakang pemberiangelar ini menurut Ramli sangat beragam, dari harapan adannya penggelontoran dana pendidikan lebih banyak hingga jabatan tertentu untuk para petinggi kampus bila kemudian sosok yang diberikan nantinya punya posisi berpengaruh di masa depan.
Praktik pemberian gelar ini tak ubahnya menjadikan kampus seperti pasar tempat para petinggi kampus mengobral murah gelar kehormatan. Bahkan, bisa saja menjadikan gelar kehormatan itu tak lagi menjadi sesuatu mewah untuk dimiliki.
“Jika kita menyimak obrolan para guru besar di luar sana, tak sedikit yang kemudian mengaku lama-lama akan malu juga menyandang gelar profesor itu. Karena itu tadi mudah dan murah sekali diberikan kampus,” tambah Ramli.
Sebagai barometer moral publik dan tempat di mana kejujuran intelektual itu dijunjung tinggi, tak seharusnya kemudian kampus terlibat dalam arus deras kepentingan politik dengan menjadikan hak otonomi– dapat mengelola kebutuhannya sendiri, kemudian menjadi dasar kebebasan menggadaikan gelar kehormatan.
Jika demikian, masihkah kampus terhormat?
Baca Juga : Polemik di Balik Profesor Kehormatan
Tambahkan Komentar