Readtimes.id– Penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (otsus) Papua, tahun ini memasuki usia dua puluh tahun. Itu artinya skema anggaran khusus yang diterima Papua juga akan berakhir tahun ini.
Sebagai daerah otsus, Provinsi Papua dan Papua Barat memperoleh penerimaan khusus setara dua persen dari dana alokasi umum nasional. Dalam UU, dana ini mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan provinsi lain. Selain itu juga meningkatkan taraf hidup masyarakat di sana, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua.
Namun, jauh panggang dari api, cita-cita tersebut tak pernah terwujud dalam dua dekade berlakunya undang-undang otsus ini. Data BPS yang dirilis pada Februari 2021 menunjukkan, Papua dan Papua Barat merupakan dua provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia. Yaitu sebesar 26,8 persen dan 21,7 persen.
Hal ini bahkan tidak menunjukkan perubahan dari data sensus penduduk tahun 2010. Sebelas tahun lalu, Papua dan Papua Barat menduduki angka kemiskinan tinggi, yakni 34,88 persen dan 36,80 persen.
Hal ini berkorelasi dengan rendahnya indeks pembangunan manusia ( IPM) di Papua yang hanya mencapai 60,44. Angka ini di bawah seluruh rata- rata provinsi yang mencapai angka 60-70 ke atas. Seperti yang diketahui indeks pembangunan manusia mencakup beberapa indikator, seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. Indikator ini pun menjadi fokus capaian dalam UU Otsus Papua.
Data-data tersebut yang kemudian menjadi argumentasi penolakan terhadap pemberlakukan otonomi khusus kembali ke Bumi Cendrawasih. Di samping isu keamanan dan HAM yang nampak tak pernah menemui kata ujung.
Bambang Shergi Laksmono, Guru Besar FISIP Universitas Indonesia, kepada readtimes.id mengatakan bahwa terlepas dari persoalan politik maupun sosial budaya, persoalan ekonomi menjadi hal yang cukup diperhitungkan dalam melihat akar masalah di Papua.
“Saya lebih melihatnya dari segi ekonomi sebenarnya ya, tata kelola masyarakat, kehidupan masyarakat, dan mungkin kalau dalam bahasa keadilan adalah menyoal terkait kepastian peluang untuk maju yang belum ada, ” terang Direktur Eksekutif Papua Center FISIP UI ini.
Menurut pihaknya, meskipun Papua adalah daerah otonomi khusus, kesenjangan masih nampak di daerah ini. Hal ini tak lain disebabkan oleh karakteristik sumber perekonomian yang berkembang di Papua belum dapat dijangkau masyarakat Papua.
Menurutnya, Papua punya potensi pada perkebunan dan pertambangan, namun hasilnya belum dapat dirasakan langsung masyarakat Papua kecuali mereka yang berkesempatan menjadi tenaga kerja di sektor tersebut. Kendati demikian, seringkali masyarakat Papua terhadang akan kemampuan atau kapasitas yang dimiliki, sehingga tidak mendapat kesempatan kerja. Sehingga dengan alasan itu pula peningkatan kualitas SDM melalui sektor pendidikan merupakan hal penting lainnya yang juga membutuhkan perhatian lebih.
Menyoal revisi undang-undang ini, ia menyarankan agar pihak-pihak berwenang memperhatikan beberapa pasal terkait tata kelola ekonomi di Papua, yakni pasal 38 dan pasal 39 yang penjabarannya masih sangat luas. Hal ini penting karena menyoal kesejahteraan, sektor kesehatan dan pendidikan saja tidak cukup tanpa ada dukungan dari sektor perekonomian.
Terkait peluang otonomi khusus dapat menjawab harapan masyarakat Papua, Guru Besar Kesejahteraan Sosial ini memandang hal ini sangat bergantung pada perubahan pasal-pasal yang ada di dalamnya. Terutama terkait tata kelola perekonomian di daerah otonomi khusus.
2 Komentar