Readtimes.id– Ditargetkan selesai pada Juli mendatang, pembahasan revisi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua masih berlangsung hingga sekarang.
Draf undang-undang yang mengatur hubungan pusat dan daerah otonomi khusus hasil usulan pemerintah ini seperti yang diwacanakan, hanya akan merevisi dua pasal, yakni pasal 34 tentang dana alokasi umum (DAU) dan pasal 76 terkait pemekaran.
Dengan revisi pasal 34, sebagian daerah otonomi khusus, Papua tak hanya mendapat perpanjangan alokasi dana otsus dari pusat melainkan juga penambahan anggaran menjadi 2,25 persen. Sebelumnya, anggaran untuk Papua hanya mencapai dua persen saja.
Terkait pemekaran yang sebelumnya dilakukan atas persetujuan MRP (Majelis Rakyat Papua) dan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) diusulkan pemerintah untuk dapat pula dilakukan oleh pusat. Kondisi geografis Papua yang luas menyebabkan pembangunan dengan biaya mahal, akses sulit dan birokrasi yang panjang diklaim sebagai alasan mengapa pemekaran wilayah perlu dilakukan dengan cepat.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Yayasan Pendidikan Islam Papua, Najamuddin Gani, kepada readtimes.id mengatakan, langkah revisi UU Otsus Papua memang sudah seharusnya dilakukan karena tidak relevan dengan kondisi di Papua sekarang. Namun terlepas dari itu, pemerintah juga seharusnya konsisten dan melakukan pendampingan setelah undang-undang tersebut diberlakukan.
“Selama ini, setelah membuat kebijakan, pemerintah pusat kurang konsisten dan tidak melakukan pendampingan seperti pengelolaan dana daerah misalnya. Jadi meskipun dasar kebijakannya bagus, anggaran besar, namun pada implementasinya di lapangan ini tidak tepat sasaran,” terangnya.
Pemerintah pusat yang tidak konsisten dalam menerapkan UU Otsus Papua dapat dilihat ketika pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda). Dalam pasal 48 ayat (5), otsus dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan gubernur Papua. Namun dalam implementasinya, menurut Najamuddin, tidak dijalankan sebagaimana mestinya karena gubernur tidak dilibatkan. Begitu pula dengan berbagai pendekatan keamanan lainnya.
Selain itu, pihaknya juga menyayangkan terkait isu terorisme yang selalu dilekatkan pada Papua dimana kontradiktif dengan kondisi Papua yang sebenarnya. Pihaknya menekankan daripada membuat isu-isu kontradiktif, pemerintah seharusnya lebih fokus pada pembangunan kesejahteraan masyarakat Papua yang mungkin saja dapat dilakukan melalui pemekaran wilayah.
Pemberian kewenangan untuk mengelola daerah otonom sejatinya memang tidak bisa dilepaskan dari prinsip sinergitas antara pusat dan daerah. Hal ini penting dilakukan, selain untuk menghindari adanya peraturan yang tumpang tindih, juga untuk menghindari terjadi pengambilalihan peran yang tidak diinginkan dimana bertentangan dengan tujuan adanya sebuah undang-undang.
2 Komentar