RT - readtimes.id

Penangkapan Bupati Musi Banyuasin dan Cerita Pemburu Rente

Readtimes.id– Penangkapan Bupati Musi Banyuasin, Dodi Alex Noerdin dalam operasi tangkap tangan (OTT)  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus suap atas perizinan proyek infrastruktur kembali mengungkap fakta bahwa ancaman lingkaran ‘rent seeking’ atau perburuan rente masih mengintai pelaksanaan pemerintahan di daerah. 

Seperti diketahui dalam penangkapan putra mantan  Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin yang sebelumnya  juga tersangkut kasus korupsi tersebut, turut serta  menyeret sejumlah nama  birokrat. Seperti Herman Mayori, Kepala Dinas PUPR Musi Banyuasin Eddy Umari, PPK Dinas PUPR Musi Banyuasin, juga dari pihak swasta yakni Suhandy,  Direktur PT Selaras Simpati Nusantara.

Hal yang dulu  juga terjadi dalam penangkapan Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, yang juga melibatkan Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang  ( PUTR) Sulsel, Edy Rahmat dan beberapa penangkapan Kepala Daerah lainnya di Tanah Air seperti  Bupati Bengkalis, Amril Mukminin, Rita Widyasari, Bupati Kutai Kartanegara,  yang juga terjerat dalam kasus serupa dan lagi-lagi melibatkan swasta serta birokrat. 

Seperti yang dijelaskan oleh Anas Iswanto Anwar, ekonom Universitas Hasanuddin, dalam tulisannya di readtimes.id yang berjudul ”  rent seeking ”  adalah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Gordon Tullock pada 1967. Kemudian dipopulerkan Anne Krueger pada Juni 1974 dalam sebuah tulisan yang dimuat American Economic Review berjudul “The Political Economy of the Rent-Seeking Society”. 

Baca Juga : Rent Seeking

” Rente tidak lain  merupakan selisih antara nilai pasar dari suatu “kebaikan hati” birokrasi dengan jumlah yang dibayar oleh penerima rente kepada birokrasi/pemerintah atau kepada perorangan di birokrasi, ” tulis Anas

Lingkaran ‘rent seeking’ atau perburuan rente dalam kekuasaan pemerintah biasanya terdiri atas tiga kelompok, yakni penguasa patrimonial,  pengusaha klien (client businessmen) dan birokrasi klien. 

Dalam kasus korupsi di daerah penguasa patrimonial biasanya adalah Kepala Daerah, pengusaha klien adalah swasta, dan birokrasi klien adalah para Kepala Dinas dan jajarannya. 

Pada umumnya hubungan mereka terjalin jauh sebelum sang Kepala Daerah tersebut mendapatkan kursi dan juga setelahnya. Swasta atau pengusaha klien biasanya terlibat pula dalam memberikan modal calon Kepala Daerah untuk maju. 

Begitu pula Kepala Daerah juga memiliki orang kepercayaan untuk kemudian didudukkan di birokrasi untuk mengatur segala urusan antara Kepala Daerah dan swasta tersebut setelah terpilih yang juga menunggu bagian atas kerjanya.

Gratifikasi atau suap akan cenderung terjadi ketika swasta telah mendapatkan keinginannya yang biasa berupa percepatan perizinan proyek, dimana sebagai tanda terimakasih kepada Kepala Daerah yang telah turut andil dalam monopoli proyek.

Baca Juga : Di Balik Skandal Korupsi Kerah Putih Tanah Air

Ongkos Politik Tinggi 

Dilain sisi berulangnya kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah menurut peneliti Anti Corruption Committee (ACC) Angga Reksa sejatinya juga  tidak lepas dari ongkos politik yang mahal di Indonesia. Menurutnya ongkos besar yang dikeluarkan calon kepala daerah saat pemilihan membuat cenderung tergiur melakukan korupsi ketika berhasil mendapatkan kursi. 

“Untuk menjadi kepala daerah seseorang harus mengeluarkan ongkos besar, sejak pencalonan hingga pemilihan di TPS , sebut saja biaya kampanye, biaya saksi, dan biaya lain-lain itu bisa sampai puluhan miliar,“ terangnya. 

Hal ini yang membuat para kepala daerah korupsi dengan tujuan mengganti ongkos yang telah dikeluarkan tersebut. Menurut Angga ini tidak bisa dihindari ketika gaji dan tunjangan kepala daerah dinilai belum mampu menutupi itu semua. 

“Sedangkan jika kita lihat berapa sih gaji seorang kepala daerah, itu tak seberapa sehingga jika hanya mengandalkan gaji maka modal itu tidak akan bisa kembali, begitu pula dengan tunjangan yang diberikan,” tambahnya.

Lebih dari itu keterlibatan pihak swasta yang juga terlibat dalam menggelontorkan dana kampanye saat pemilu juga menjadi tantangan tersendiri untuk melakukan politik balas budi. Salah satunya dengan memudahkan perizinan atau terlibat dalam lelang proyek pembangunan infrastruktur.

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: