Readtimes.id – Persaingan ketat perusahaan jasa berbasis aplikasi terus melebar. Setelah layanan transportasi dan market place, kini perang berlanjut ke arena sistem pembayaran.
Data Bank Indonesia mengungkap sedikitmya sudah ada 38 aplikasi dompet digital (e-wallet) telah mendapatkan lisensi resmi. Dengan total transaksi sepanjang tahun 2019 mencapai 5,22 miliar transaksi. Nilainya melonjak tajam hingga 207% menjadi Rp145,16 triliun pada 2019. Penggunaan dompet digital, atau uang elektornik berbasis server, lebih banyak ketimbang kartu debit atau yang berbasis chips. Potensi bisnis masa depan yang menggiurkan.
Menurut Aftech Annual Member Survey Report, mayoritas investasi yang masuk di industri ini pada tahun 2017 lalu lebih dari US$ 10 miliar atau tergolong pendanaan seri A. Besarnya potensi bisnis dompet digital membuat provider rela menggelar aksi bakar uang demi menggaet sebanyak mungkin komsumen.
Maka tak heran jika sekitar satu setengah tahun belakangan ini mata kita dijejali promo-promo cash back menggiurkan saat belanja menggunakan GoPay, OVO, LinkAja, DANA, dll. Promo tak masuk akal itu adalah pertanda perang dompet digital dimulai. Itu adalah aksi bakar uang. Alhasil, pengenalan dompet digital sebagai produk uang elektronik mencapai tingkat pengenalan 82.7 persen.
Menurut data iPrice, hingga kuartal kuartal II 2019 yang dirilis pada Agustus 2020, perang dompet digital ini mulai mengerucut, menghasilkan 5 besar klasemen sementara berturut-turut yakni GoPay, OVO, DANA, LinkAja, dan Jenius.
Setidaknya 30 persen transaksi uang elektornik menggunakan GoPay. GoPay sendiri mampu menduduki puncak klasemen berkat strateginya memperbaiki ekosistem gojek.
Start up decacorn pertama di Indonesia itu memiliki sekitar 2 juta mitra pengemudi taksi dan ojek online, menggaet sekitar 400 ribu mitra GoFood dan 60 ribu penyedia layanan. Alhasil, jangkauan GoPay lebih luas. Belum lagi jika isu merger Gojel dengan Tokopedia terjadi. GoPay juga gencar memberi cash back, bahkan hingga 50 persen di hari Payday.
Di luar ekosistem GoJek, GoPay juga manggaet UMKM. Misalnya, di beberapa penjual bakso bakar pinggir jalan bisa anda beli dengan menscan Quick Respons Code (QR Code) lewat aplikasi GoPay.
Tak jauh beda dengan GoPay, pesaing beratnya, OVO, juga memaksimalkan ekosistem Grab untuk meningkatkan transaksi dan hadir di pusat perbelanjaan milik Lippo Grup. OVO pun menggaet sekitar 500 ribu mitra offline, 9 juta mitra Grab, 3 juta pedagang online di Tokopedia. Di banyak merchant, OVO sering bersanding dengan GoPay soal promo cash back. OVO juga menawarkan gratis biaya top up atau isi ulang, beda dengan GoPay yang membebankan seribu rupiah setiap kali isi ulang.
Tapi dalam bisnis jenis apapun, bakar uang hanya bagian dari strategi promosi. Yang paling utama adalah profitabilitas. Terbukti, aksi bakar uang keduanya berakahir. OVO tak lagi menggratiskan biaya isi ulang sejak maret 2019. Meski OVO berdalih tak mengambil keuntungan dari pengenaan biaya tersebut; hanya sebatas menutupi biaya operasional. OVO juga mulai mengurangi masa cash back dan Payday.
GoPay juga sama. Tak ada lagi cash back atau Payday. Meski mereka meyakini, konsumen tetap loyal menggunakan GoPay karena fungsi utamanya yakni kemudahan bertransaksi.
Pendatang baru di dompet digital sebenarnya adalah ShopeePay. Mereka baru saja memulai aksi bakar uangnya. Sebagai ekosistem market place terbesar di Indonesia, ShopeePay punya peluang besar.
Di sisi lain, pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) terus mendorong penggunaan QRIS sistem di level UMKM. Hal itu juga mendukung transkasi tanpa kontak fisik selama masa pandemi. BI juga telah menghapus biaya 0.7 persen yang awalnya dibebankan ke merchant (merchant Discount Rate).
Tambahkan Komentar