Readtimes.id– ” Kalau kita berbicara mengenai akses dan peran perempuan dalam kebijakan dan pembangunan daerah, itu dapat diketahui melalui konsep women and political leadership, bagaimana perempuan meraih jabatan politik di eksekutif, mengetahui gaya kepemimpinan perempuan, dampak kebijakan, serta bagaimana menilai kinerja pemimpin perempuan.” Ungkap Ani W. Soetjipto memaparkan konsep awal terkait akses dan peran perempuan dalam kebijakan pembangunan daerah.
Hal itu ia ungkapkan dalam Ruang Publik sebuah diskusi rutin virtual yang digelar oleh Lembaga Studi Kebijakan Publik ( LSKP) didukung oleh Women’s Democracy Network dan International Republican Institute pada 3 September 2021 yang mengangkat tema “Akses dan Peran Perempuan dalam Kebijakan dan Pembangunan Daerah”.
Sebagai pembicara pertama yang dipandu oleh Luna Vidya, Ani W. Soetjipto menguraikan terkait pandangannya mengenai analisis konsep mengenai akses dan peran perempuan dalam kebijakan dan pembangunan daerah.
Tidak hanya itu, Dosen Senior Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI/Pasca Kajian Gender SKSG UI ini menyampaikan terkait beberapa tantangan yang dihadapi perempuan saat ini dalam menjadi seorang pemimpin apalagi pada pemilihan legislatif, salah satunya yaitu perempuan selalu dihadapkan dalam kondisi double bind dilema, yang dimana ketika perempuan menampilkan sosok feminim dan kelembutannya, hadir stereotip masyarakat yang masih menganggap bahwa perempuan tidak kompeten dan tidak layak menduduki posisi tersebut.
Namun jika perempuan menampilkan sosok maskulinitasnya, mereka juga akan dikritik dengan tajam dan tidak disukai oleh masyarakat. Oleh karena itu beliau menekankan bahwa sangat penting perempuan keluar sebagai pemenang dan menemukan strategi untuk mengatasi tantangan tersebut.
Merespon situasi akses dan peran perempuan terhadap kebijakan dan pembangunan daerah serta tantangan-tantangan yang dihadapi dengan menjadi seorang pemimpin perempuan, Bupati Luwu Utara Periode 2016 – 2021, Indah Putri Indriani memaparkan terkait pandangan serta membagikan pengalamannya dalam menjadi seorang pemimpin daerah dan bagaimana beliau melawan stereotyping pemimpin perempuan yang selama ini melekat di masyarakat.
Tidak hanya itu, menurut Indah sebagai seorang pemimpin perempuan perlu memastikan bahwa pemimpin hadir untuk memberikan ketenangan, rasa aman, serta kenyamanan sehingga masyarakat tidak asing dengan hadirnya perempuan sebagai pemimpin.
Lebih jauh Indah juga menyampaikan pandangan terkait hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam mengambil peran melalui kepemimpinannya dalam pembangunan daerah salah satunya pengambilan keputusan dalam Musrembang, Melalui sejumlah pengalamannya di lapangan.
“Pemerintahan hadir untuk semua warganya, tidak hanya kelompok-kelompok tertentu. Jika melihat kondisi musrembang, sering kali perwakilan yang diutus hanya staff-staff yang ada di dusun, yang dimana tidak dapat dikatakan sebagai representasi masyarakat. Mereka juga seringkali hanya hadir secara fisik dan tidak memberikan respon terhadap isu apapun. Padahal, ketika turun di tengah masyarakat sangat banyak aspirasi masyarakat yang tidak tertuang di musrembang Maka dari itu penting untuk menyediakan ruang khusus untuk perempuan terlibat aktif dalam musrembang.” tambahnya
Menanggapi permasalahan tersebut, Ani W.Soetjipto memandang bahwa harus ada sinergi antara ranah eksekutif dan kelompok-kelompok masyarakat sipil dan meningkatkan jejaring dan kolaborasi untuk mendukung kepemimpinan perempuan dari level atas maupun bawah, yaitu desa. Salah satunya melalui Musrembang, yang dimana membutuhkan warga utamanya perempuan yang aktif, kapasitas dalam pengambilan keputusan, pengetahuan terkait kebijakan, anggaran maupun kritis dalam menghadapi masalah.
Maka dari itu penting kemudian membangun kapasitas perempuan dan mendorong kepemimpinan perempuan untuk memberikan akses dan meningkatkan peran mereka dalam kebijakan maupun pembangunan daerah.
Lusia Palulungan selaku Pembina Dewi Keadilan Sulsel memandang untuk mencapai itu semua penting untuk menghapus patriarki yang telah bercokol lama dalam kehidupan masyarakat yang selama ini dipercaya masih menjadi penyebab utama terbatasnya gerak perempuan dalam ranah publik.
Tidak hanya itu, selaku aktivis dalam LSM, Lusia Palulungan juga menekankan bahwa sangat diperlukan kepemimpinan perempuan di tingkat grassroot (akar rumput) sehingga dapat menghadirkan rencana program dan kebijakan dari level bahwa, karena hingga saat ini akibat budaya patriarki yang sudah melekat, kesempatan perempuan tertutup untuk menyuarakan hak-hak mereka.
“Maka dari itu harus ada keseimbangan antara pemerintah nasional hingga pemerintah desa untuk mendorong kebijakan responsif gender,” pungkasnya.
1 Komentar