Readtimes.id– Menulis bagi seorang perempuan nyatanya tidak sekadar aktivitas menuangkan pemikiran saja, melainkan juga menyelamatkan diri.
Hal tersebut diakui oleh tiga penulis yang menjadi narasumber dalam festival literasi terbesar di Indonesia Timur, Makassar International Writers Festival (MIWF) 2022 dalam sebuah sesi diskusi menyoal obsesi dan aspirasi penulis perempuan pada Kamis, 23/6.
Acara yang berlangsung di pusat kesenian Makassar ini menghadirkan Kalis Mardiasih, Ramadya Akmal dan Dian Purnomo.
Kalis Mardiasih sebagai penulis yang dikenal berfokus pada isu feminisme dan Islam mengaku bahwa dirinya memberanikan diri menulis terkait perempuan dan Islam karena dirinya merasa prihatin dengan judul buku-buku yang mendiskreditkan posisi perempuan di masyarakat, terutama jika itu dibenturkan dengan agama.
“Awalnya karena saya merasa risih ketika melihat rak-rak toko buku yang diisi dengan buku yang judulnya seolah-olah perempuan itu menjadi sumber dosa, seperti 7 dosa perempuan ketika di luar rumah,” ujarnya.
Menurutnya judul- judul yang demikian ini mengungkung kebebasan perempuan, juga semakin menguatkan budaya patriarki di masyarakat. Oleh karenanya keputusannya untuk menulis dan berfokus pada isu perempuan dan agama untuk mengimbangi wacana tersebut. Menurutnya masyarakat penting mengetahui yang sebenarnya dan bersumber langsung dari diri perempuan.
Selanjutnya ada Ramadya Akmal yang berfokus pada sastra perjalanan mengaku bahwa alasannya menulis adalah untuk lari dari rumah, menyelamatkan diri dari perspektif dan budaya- budaya yang mengungkung dirinya sebagai perempuan.
Melalui genre tulisan yang difokusinya, ia mengaku bahwa penulis perempuan selalu memiliki sudut pandang yang berbeda ketika menuliskan terkait perjalanan.
“Dengan menulis perempuan bisa membangun wajah lain atau bahkan yang sebenarnya, tidak seperti yang ditempelkan oleh budaya-budaya patriarki, ” ucapnya pada Maria Panratia yang saat itu memandu acara.
Tidak jauh berbeda dengan Kalis dan Ramadya, Dian Purnomo sosok yang berfokus pada isu-isu sosial juga mengaku bahwa selain menyelamatkan diri sendiri, tak lain adalah menyadarkan para perempuan yang ditemuinya tentang hak- hak yang dimiliki sebagai perempuan juga warga negara.
Menurutnya banyak perempuan yang bungkam hari ini karena mereka buta tentang hukum yang sejatinya menjadi instrumen pelindung bagi mereka untuk mendapatkan akses yang sama dengan kaum laki-laki.
Namun meski telah berhasil menuliskan pandangan -pandangan mereka tentang perempuan, ketiga penulis perempuan ini tidak menampik bahwa masih menjumpai pandangan- pandangan yang mendiskreditkan mereka sebagai penulis perempuan. Sesederhana saat mereka menentukan isu yang mereka bawa yang tidak jarang bertentangan dengan budaya yang telah diyakini masyarakat sejak lama hingga pengakuan atas sebuah karya.
Sebagai penulis perempuan tidak jarang mereka masih mendapatkan perlakukan istimewa hanya karena jenis kelamin mereka perempuan dan bukan karena substansi dari karya-karya yang mereka hasilkan.
Tambahkan Komentar