RT - readtimes.id

Persatuan yang Retak?

Dalam suasana hari kemerdekaan ini, kita perlu banyak berefleksi tentang masa lalu untuk melihat masa depan.  Saya pernah membaca sebuah tulisan. Di sana ada cerita menarik. Satu waktu, Bung Karno bertanya kepada Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito.  

“Tuan Tito, jika Anda meninggal dunia nanti, bagaimana nasib bangsa Anda ?” 

Dengan bangga, Josip berkata,”Aku memiliki tentara-tentara yang berani dan tangguh untuk melindungi bangsa kami,”

Setelah menjawab pertanyaan ini, Josip balik bertanya, “Lalu bagaimana dengan negara Anda, Sahabatku?” .

Dengan tenang, Bung Karno berkata,”Aku tidak khawatir, karena aku telah meninggalkan untuk bangsaku.  Sebuah ‘Way of life’, yaitu : “Pancasila”, “the five fundamental principles of Indonesia”. 

Para ahli sejarah di Serbia pernah berpandangan,  Indonesia adalah negara yang paling mungkin pecah   dibandingkan Yugoslavia. Alasannya,  karena wilayahnya Yugoslavia tidak terpisah-pisah dan tidak beretnis sebanyak Indonesia. 

Namun faktanya,  bangsa Yugoslavia pecah berkeping menjadi negara-negara kecil seperti Serbia, Kroasia, Bosnia, dan lain-lain. 

Mereka lalu merubah pandangan. Ternyata, Indonesia kata mereka, lebih beruntung karena memiliki pegangan hidup yaitu  Pancasila yang menyatukan penduduknya yang terdiri atas berbagai suku/golongan dan memeluk berbagai agama dan kepercayaan.

Secara individu saya  juga berpikir begitu. Bahkan, mengalaminya. Tahun 1996, saya bicara di hadapan mahasiswa internasional di kota Lyon Prancis. Mereka tergabung dalam asosiasi mahasiswa asing di kota Lyon perancis (les Association des étudiants étrangers en France). 

Waktu saya bicara tentang Indonesia dengan pluralismenya. Ada seorang mahasiswa asal Inggris berkomentar. Kata beliau, di Eropa ini seharusnya negara-negara ini bersatu. Tapi, mereka malah pecah menjadi negara kecil-kecil. Padahal, secara kultural dan geografi sangat dekat. Indonesia adalah negara yg harusnya pecah karena banyaknya perbedaan, tapi malah bersatu. 

Kala itu,  saya dengan tanggap menjawab, “parce que nous avon Pancasila” (karena kami punya Pancasila). “Nous some differences, mais unite”, Bhineka Tunggal Ika (kami berbeda tapi, kami satu). 

Satu tahun kemudian, 1997, Indonesia dilanda kerusuhan massal yang memaksa turun Presiden Suharto. Saya sembunyi kepalaku di bawah bantal sambil mengingat wajah mahasiswa asing di kota Lion kala itu. Saya malu, walau tidak lagi saling menatap. 

Ketika artikel ini saya tulis kembali di segmen waktu kemerdekaan ini. Tiba tiba teringat pada negeri negeri kita yang  bergolak. Salah satunya, Papua. Alasannya kala itu, karena ketersinggungan. kabarnya, lantaran dikatai binatang. Memang penghinaan serius. Karena itu, tugas yang juga serius dan berat  adalah : 1). Urus sebab musababnya secara objektif dan adil. 2). Upaya terus menerus, mencabut dari pikiran anak negeri tentang penghinaan manusia atas manusia. 

Tidak boleh ada rasa lebih, antara satu etnik atas etnik yang lain. Itu, nilai universal yang dijunjung secara mondial. Semua manusia harus respek atasnya. Mulailah itu semua dari rumah tangga dan sekolah dasar kita. 

Tapi dibalik semuanya, saya merenung dalam-dalam.  Begitu mudahnya   kerusuhan tercipta di tanah kita. Cukup dengan menghina atau mengadu domba suku dan agama. Kita bakal memanen malapetaka perpecahan. Persatuan kita memang masih rapuh. Walau kita telah berumur 76 tahun. Masih butuh kerja keras. Keteladanan menjadi kunci. Menyatulah kita untuk itu. Jangan retak. 

MERDEKA !

Penulis :  Nur Sang Adji (Associate Profesor bidang Ekologi Manusia, Fakultas Pertanian Univ. Tadulako, Ketua FKPT SULTENG )

Ona Mariani

39 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: