Judul : Dilarang Mencintai Bunga-Bunga
Penulis : Kuntowijoyo
Penerbit : Mata Angin
Tahun Terbit : 2020
Halaman : 418 hlm.
“Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” adalah cerita pendek sekaligus judul buku sastrawan sohor Indonesia, Kuntowijoyo. Sebagai judul cerita pendek, ia seakan mewakili sikap dan ideologi Kuntowijoyo dalam menulis: menyebarkan pesan profetik kepada pembaca. Sebagai judul buku, “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” telah dicetak berkali-kali sejak 1992 hingga sekarang oleh penerbit berbeda.
Mengapa terus dicetak ulang? Artinya ada permintaan pasar, para pembaca, baik yang lama maupun yang baru, terus memburu “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” ini. Para pembaca masih merasa terus tersihir oleh pesan-pesan profetik Kuntowijoyo, menyampaikan pesan-pesan sosial tanpa mengkhianati unsur sastra itu sendiri. Pendeknya,
“Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” adalah buku yang berhasil menyampaikan pesan ideologis penulisnya, sekaligus indah dan nyaris sempurna sebagai teks sastra.
“Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” berisikan sepuluh cerpen, di antaranya adalah “Anjing”, Serikat Laki-Laki Tua”; “Ikan-ikan dalam Sendang”; “Kayu untuk Tuhan”, “Burung Bersarang di Pohon”, dan lain-lain. Keseluruhan cerita yang kuat dengan unsur-unsur atau aspek kehidupan sehari-hari kita, namun di tangan seorang Kuntowijoyo cerita sehari-hari itu mampu menerbitkan makna profetik yang akan membawa pembaca pada perenungan filosofis dan religius.
Contohnya, “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”. Cerita yang memenangkan lomba Sayembara Menulis Cerita di Majalah Sastra pada 1968 ini berkisah tentang persentuhan seorang anak laki-laki dengan seorang tua yang sehari-hari merawat bunga-bunga. Pertemanan anak laki-laki dan pak tua tersebut melahirkan kebijakan-kebijakan tentang kehidupan. Si anak-anak laki begitu terpengaruh oleh kalimat-kalimat bijak teman tuanya itu, dan beberapa kali nampak ‘menasihati’ ayahnya sendiri yang seorang montir yang bekerja di bengkel.
Si montir ini nampak khawatir dengan cara berpikir anak laki-lakinya tersebut. Dia lantas melarang anaknya bertemu lagi dengan si pak tua. Bagi si montir, kehidupan itu harus diisi dengan kerja. Lantas ia suruh anaknya untuk berpeluh dengan oli, dengan keringat, dengan kerja. Bukan hanya dengan perenungan-perenungan bijak yang lahir dari kebun bunga.
Cerita “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” seakan-akan membenturkan antara yang filosofis dengan yang pragmatis, antara teori dan praktik, antara ilmu murni dan ilmu terapan, dan sebagainya. Cerita ini membawa ragam tafsir kepada pembaca, yang jelas cerita tidak berusaha menggiring pembaca memihak kepada salah satunya. Dia seakan-akan mengajak kita menggali apa yang baik dari kebijakan dari kebun bunga, dan apa yang mulia dari semesta kerja duniawi.
“Kayu untuk Tuhan” merupakan cerpen lainnya yang penuh berisi perenungan bagi pembaca seusai membacanya. Cerita pendek ini tentang seorang tua yang berniat menyumbang sesuatu untuk pembangunan sebuah surau atau rumah ibadah. Cara ia menyumbang yang unik—kayu itu dilarungkan melalui sungai—seakan hendak memberi nilai bahwa jika hendak menyumbang untuk kepentingan Tuhan seharusnya kita ikhlas tanpa pamrih.
“Burung Bersarang di Pohon” adalah cerita lain lagi yang akan menerbitkan perenungan pada pembaca. Kisahnya sederhana, tentang seorang alim yang absen melaksanakan sholat Jumat di masjid karena harus menolong seorang anak kecil yang ingin mengambil burung yang bersarang pada sebatang pohon.
Tiga cerita pendek yang diudarkan secara ringkas di atas bisa dikatakan mewakili warna—isi dan narasi—seluruh cerita di dalam “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”. Secara isi, pembaca diajak untuk tidak terlalu melangit ketika membicarakan makna kehidupan, namun harus pula menjejak bumi. Ibadah sosial tidak kalah pentingnya dengan ibadah individual. Malah syarat salah satu ibadah tersebut bisa diterima jika turut melaksanakan ibadah jenis lainnya. barangkali sederhananya seperti itu yang ingin disampaikan oleh Kuntowijoyo.
Sementara itu, secara narasi, “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” tidak berlarat-larat dengan metafora. Tapi justru dia berbentuk realisme yang sangat sederhana dan mudah diikuti. Sehingga bagi pembaca awam pun akan menikmatinya.
Profetik, berkali-kali istilah ini muncul dalam ulasan ini. Ya, secara khusus Kuntowijoyo telah menerbitkan maklumat bahwa ia ingin membawa pesan profetik dalam karya sastranya. Maklumat itu lantas dibukukan dengan judul, “Maklumat Sastra Profetik”. Pesan profetik yang bukan hanya berlaku untuk satu agama saja, namun juga untuk semua agama yang mengajarkan kebaikan pada umat manusia.
Dalam buku “Maklumat Sastra Profetik”, Kuntowijoyo mengatakan kurang lebih seperti ini, “Walaupun nilai yang saya pakai dalam maklumat ini Islam. Tapi tidak menutup agama lain bisa mengimplementasikannya. Sesuai dengan epistemologi strukturalisme transendental.”
Tambahkan Komentar