
Readtimes.id– Gelombang penolakan terhadap pembangunan fasilitas Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) melalui skema Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) terus bergulir di Tamalanrea. Ratusan warga dari wilayah Mula Baru, Tamala’lang, Alamanda, dan Akasia membentangkan spanduk protes pada Selasa (29/7),
Warga menolak rencana pembangunan PSEL karena dinilai terlalu dekat dengan kawasan permukiman mereka.
Aksi yang berlangsung di Gerbang Eterno itu diikuti oleh ratusan warga dari berbagai kalangan. Mereka menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan dan kesehatan yang akan timbul jika proyek tetap dilanjutkan. Spanduk dan poster bertuliskan penolakan dipasang di sepanjang lokasi, mempertegas sikap tegas warga yang merasa tidak dilibatkan sejak awal perencanaan.
Siti Husnawati Malik, atau yang akrab disapa Ibu Coa’, mengungkapkan keresahannya. Ia menegaskan bahwa warga bukannya anti pembangunan, namun keberadaan fasilitas pengolahan sampah hanya berjarak dua meter dari rumah warga dinilai sangat membahayakan.
“Bukan menolak pembangunannya, tapi tempatnya tolong ditinjau kembali. Di sini banyak anak-anak, dan wilayah ini juga rawan banjir. Kasihan kalau nanti limbah atau asapnya masuk ke rumah kami,” ujarnya sambil menunjuk ke arah tembok lokasi proyek yang disebut-sebut hanya berbatas langsung dengan permukiman.
Hal senada diungkapkan oleh Azis, tokoh masyarakat setempat. Menurutnya, dampak dari pembangunan ini bukan hanya sesaat, melainkan akan dirasakan dalam jangka panjang. Ia menyebut bahwa pencemaran udara, tanah, hingga air bersih bisa menjadi ancaman nyata.
“Setelah PDAM bermasalah, sekarang kebanyakan warga pakai sumur bor. Kalau tanahnya tercemar limbah, dari mana lagi kami bisa dapat air bersih?” katanya.
Penolakan tak hanya datang dari orang dewasa. Sejumlah pelajar yang sekolahnya berdekatan dengan lokasi pembangunan juga turut menyuarakan ketakutannya. Mereka khawatir bau busuk dari proses pengolahan sampah akan mengganggu proses belajar.
“Kami tidak bisa fokus kalau baunya sampai ke sekolah,” ucap salah satu siswa.
Akbar, Koordinator Aliansi GERAM PLTSa, menyayangkan proses pengambilan keputusan yang dinilainya tertutup dan sepihak.
“Kami seolah digadaikan tanpa kami tahu apa-apa. Tiba-tiba saja ada informasi sudah mau peletakan batu pertama. Itu yang membuat kami marah dan merasa dilanggar hak kami,” ujarnya.
Ia juga mengkritisi sikap perusahaan yang dalam pertemuan menyebut bahwa proyek ini telah disetujui oleh pemerintah sebelumnya. Menurutnya, jika pemerintah benar-benar pro rakyat, maka seharusnya mendengar suara masyarakat yang paling terdampak.
Warga mendesak Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, untuk memindahkan lokasi proyek ke tempat yang lebih aman dan jauh dari permukiman. Mereka berharap aksi ini menjadi pengingat bagi semua pihak, bahwa pembangunan yang mengabaikan keselamatan ribuan warga di Mula Baru, Tamala’lang, Alamanda dan Akasia tak bisa lagi dibenarkan.
Editor: Ramdha Mawaddha