Readtimes.id– Revisi kilat Undang-Undang Pilkada yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan kepala daerah dinilai sebagai bentuk dari pembangkangan konstitusi atau law disobedience. Pasalnya, UUD 1945 menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar, saat dihubungi Readtimes pada Rabu (21/8/2024) mengatakan sangat menyayangkan langkah yang diambil oleh DPR.
“Tentu saja ini sangat disayangkan bahwa semua atau siapapun juga harus taat terhadap hukum dan bilamana tidak, maka konsep bernegara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang berdasar atas hukum rusak sama sekali,” ujar Aminuddin Ilmar.
Ia juga mengingatkan KPU agar lebih cermat dalam menyikapi revisi UU Pilkada yang tidak mengindahkan putusan MK tersebut, pasalnya MK berwenang untuk membatalkan hasil Pilkada.
“Ini juga menjadi warning bagi KPU dan apalagi MK nantinya dalam penyelesaian sengketa bisa saja membatalkan hasıl pilkada bilamana tidak sesuai dengan putusan MK itu,“ tambahnya.
Guru Besar Fakultas Hukum Unhas ini juga mengingatkan agar KPU tetap berkonsultasi dengan DPR jika ingin melakukan perubahan pada PKPU.
Sementara itu pengamat politik Universitas Hasanuddin, Endang Sari, mengungkapkan bahwa KPU sebagai lembaga negara yang mandiri dan independen harus menaati putusan hukum yang ada, yaitu sesuai dengan putusan MK yang sifatnya final dan mengikat.
Endang mengingatkan bahwa karakteristik putusan MK ini sama dengan putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 kemarin tentang syarat usai di pemilihan presiden dan wakil presiden. Sikap KPU pada saat itu langsung menindaklanjuti putusan MK dengan melakukan revisi PKPU.
“Artinya dengan karakteristik yang sama ini juga segera direspons karena ini terkait dengan mandat konstitusional yang sudah dikeluarkan MK sebagai lembaga yang berwenang dan ini wajib ditindaklanjuti,” ucap Endang.
Mantan komisioner KPU Makassar ini menilai dengan demikian tak ada alasan KPU untuk tidak menindaklanjuti putusan MK tersebut. Pasalnya, pada saat putusan MK soal batas usia calon di Pilpres lalu, KPU langsung menindaklanjutinya meski tahapan pencalonan makin mepet.
“Tenggat waktunya juga sama dengan yang kemarin. Jadi tidak ada alasan KPU untuk tidak merevisi PKPU,” tambahnya.
Endang khawatir publik tidak lagi percaya KPU dan DPR jika putusan MK itu ditangguhkan. Apalagi dia menilai ada elite politik mencoba mengatur Pilkada di daerah.
“Dampaknya pertama adalah pertaruhan terhadap kepercayaan masyarakat artinya kedaulatan tertinggi ditangan rakyat yang emang ada di konstitusi kita sedang dipertaruhkan. Karena sepertinya pilkada dicoba untuk di-setting untuk kemudian settingannya lebih berpihak kepada kepentingan koalisi gemuk yang terjadi di banyak daerah dan ini sangat tidak sehat bagi demokrasi kita,” ujar Dosen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin ini.
Dia berharap konsultasi KPU dengan DPR segera dirampungkan. Selanjutnya KPU segera melakukan revisi PKPU pencalonan.
Sebelumnya MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada. MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.
Putusan terhadap perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora itu dibacakan dalam sidang di gedung MK pada, Selasa 20 Agustus 2024.
Editor: Ramdha Mawaddha
Tambahkan Komentar