Readtimes.id– Bak oase di tengah gurun, kabar bantuan Rp2 triliun dari keluarga Almarhum Akidi Tio memberikan harapan bagi penanganan Covid-19 di Palembang, Sumatera Selatan.
Diserahkan oleh Heriyanti– putri bungsu almarhum, ditujukan kepada Kapolda Sumsel Irjen Pol Eko Indra Heri dan disaksikan pula Gubernur Herman Deru.
“Amanah yang berat,” kata mantan asisten SDM Kapolri itu dalam wawancaranya bersama awak media setelah penyerahan simbolik, tepatnya Juli lalu.
Berat karena uang Rp2 triliun itu bukan jumlah yang sedikit. Bahkan ada yang berpendapat jika sumbangan almarhum Akidi Tio ini adalah sumbangan kedua terbesar setelah Bill Gates, seperti yang diceritakan oleh Dahlan Iskan dalam hariannya. Dengan demikian Akidi Tio adalah orang pertama Tanah Air yang menyumbang dengan jumlah terbesar saat Covid-19 melanda Indonesia, mengalahkan deretan orang kaya Indonesia yang langganan masuk majalah forbes.
Namun sayang jauh panggang dari api, hingga kini sumbangan itu tak kunjung diterima oleh Kapolda Sumsel. Biar sepeser rupiah pun. Bahkan informasi terakhir, Heriyanti justru dipanggil kepolisian untuk dimintai keterangan terkait keberadaan uang itu, yang digadang-gadang masih berada di sebuah bank di Singapura. Ia mengklaim uang tersebut tidak bisa dicairkan sekaligus karena jumlahnya terlalu besar.
Jika benar sumbangan tersebut hanya fiktif belaka, maka Kapolda Sumsel Irjen Pol Eko Indra Heri adalah pejabat publik berikutnya yang bisa dikatakan korban “prank” dari pihak-pihak yang sebelumnya telah mengaku akan menyumbang negara dengan harta yang mereka miliki.
Sebelumnya, seorang yang mendeklarasikan diri sebagai filantropis dunia telah mengumumkan ke publik bahwa ia menyumbang lebih dari seribu rumah di Palu, Sulawesi Tengah, yang baru saja dilantakkan oleh bencana alam, likuifaksi pada 2018. Atas kebaikannya, ia dianugerahi Bintang Mahaputra sebagai tanda kehormatan. Namun hingga hari ini, bahkan hingga Palu bangkit kembali dari Bencana janji itu tidak pernah terlaksana. Wapres JK kala itu sempat marah lantaran kejadian ini.
Sementara itu ada pula Mahfud MD dalam status twitternya belum lama ini menceritakan pengalamannya saat menjadi Menhan, dimana ada orang yang mengaku punya sekoper uang dollar Amerika yang nilai per lembarnya 1000 dollar. Setelah dikonfirmasi ke BI ternyata itu tidak ada karena USA hanya mencetak lembaran uang paling tinggi 100 dollar.
“Saya tanya ke BI diketawain,” terangnya.
Menanggapi hal tersebut pakar komunikasi publik Universitas Hasanuddin, Hasrullah, memandang bahwa sejatinya hal itu terjadi tidak lain karena tidak dilakukannya pemeriksaan kembali oleh pejabat publik terhadap informasi bantuan tersebut sebelum dilempar ke publik.
“Penting sebagai seorang pejabat publik untuk memastikan segala hal informasi bantuan yang ia terima. Terutama di saat masyarakat benar-benar membutuhkan bantuan tersebut, ” terangnya.
Sebagai media yang mempunyai tugas untuk menyampaikan kebenaran pada publik, juga penting untuk tidak memproduksi pemberitaan yang sejatinya juga belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Tidak Rasionalnya Birokrasi
Berulangnya kasus sumbangan yang tak pernah dapat divalidasi untuk negara yang kerap kali melibatkan pejabat publik juga menunjukkan bahwa birokrasi Indonesia belum modern. Di mana tidak menerapkan prinsip rasionalitas dalam menanggapi segala informasi yang diterimanya, seperti yang diungkapkan sosiolog Muhammad Ramli AT kepada readtimes.id.
Menurutnya selama ini kegiatan kedermawanan atau filantropi di tengah bencana masih direspon sebagai sebuah tindakan yang mulia sehingga tidak etis jika hal semacam itu dicurigai.
“Birokrasi dan masyarakat kita masih cenderung mengedepan sisi emosionalnya ketika berhadapan dengan hal serupa, sehingga tidak heran jika hal serupa terus terulang,” terang Ramli.
Sehingga yang terjadi fakta atau kebenarannya justru cenderung kabur. Dan berpotensi menciptakan disintegrasi sosial ketika hal tersebut telah disandingkan isu ras juga agama.
Lebih dari itu, atas nama apapun perbuatan tersebut tentu tidak dibenarkan. Tidak sepatutnya kedermawanan digadaikan hanya demi sebuah popularitas atau nama baik, dan tidak sepatutnya pula harapan masyarakat dipermainkan di tengah negara yang sedang berjuang keras untuk keluar dari krisis.
2 Komentar