Readtimes.id– Apa persamaan ular dan ulat? Keduanya jalan merayap. Bukan cuma itu, ternyata ular dan ulat sama sama dalam fase hidupnya menjalani puasa. Namun terdapat perbedaan ‘hasil’ dari puasanya. Puasa ular hanya menghasilkan pergantian kulit, ular tetap jadi ular dengan karakter yang sama dengan sebelumnya. Tetap berbisa dan berbahaya bagi manusia.
Berbeda dengan ulat, setelah puasa dalam kepompong, ulat berubah menjadi kupu kupu yang cantik. Tidak hanya secara fisik berubah, juga karakternya. Jika saat masih berwujud ulat, ia adalah musuh tumbuh-tumbuhan karena memakan daun dengan sangat rakus. Namun setelah berubah menjadi kupu-kupu, ia menjadi sahabat tumbuhan karena membantu penyerbukan.
Puasa yang dijalani oleh umat Islam pada bulan Ramadan ini juga bisa seperti ular atau ulat. Jika puasanya hanya sekadar ritual rutin belaka, saat Lebaran hanya berubah jadi memakai baju baru tanpa ada perubahan akhlak baru yang lebih baik, maka itu tipe puasa ular. Jadi hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja, hanya menggugurkan kewajiban saja, tidak mendapatkan pahala dan ampunan dari Allah SWT.
Rasulullah bersabda: “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Thabrani, shahih lighairihi)
Mengapa hanya mendapatkan lapar dan dahaga? Puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tapi juga harus menahan lisan dari berkata-kata yang tidak baik, berkata kotor, menggunjing, menggibah, dan mengadu domba.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Apabila seorang diantara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata kotor, berteriak-teriak (bertengkar), dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar maka katakanlah : ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa (dua kali)’ ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari)
Begitu juga dengan perkataan jorok dan porno. Hal ini sangat dilarang bagi orang yang sedang berpuasa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan laghwu (sia-sia) dan rofats (jorok). Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa.” (HR. Ibnu Majah, shahih)
Jadi puasa melatih pembiasaan akhlakul karimah salah satunya dengan menjaga lisan agar hanya membicarakan kebaikan. Jika ini bisa dilakukan, maka puasa akan menghasilkan perubahan akhlak pada orang yang mengerjakannya. Setelah selesai puasa, diharapkan menjadi karakter baik yang sudah menjadi kebiasaan baru. Maka itulah puasa tipe ulat karena berubah menjadi lebih baik.
Kebiasaan baik yang menjadi karakter, tidak akan bisa terwujud jika hanya karena dorongan kewajiban belaka. Akhlak yang baik akan kokoh tumbuh pada diri jika didasarkan pada kesadaran yang dibangun oleh iman dan ilmu. Iman berarti keyakinan yang kokoh khususnya pada Allah dan hari akhir.
Bukan hanya keyakinan bahwa Allah itu ada, tapi juga Allah maha melihat, menyaksikan apa diperbuat oleh manusia. Lalu semua amal perbuatan yang dilakukan di dunia kelak di hari akhir akan dipertanggungjawabkan di majelis akhirat. Ini akan membuatnya berhati-hati menjalani kehidupan ini dan berusaha untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.
Dasar kedua yaitu ilmu. Sungguh sudah menjadi logika universal bahwa manusia menyenangi kebenaran, kebaikan dan keindahan. Seseorang yang memiliki akhlak mulia seperti jujur, menghargai orang lain, santun, penyantun, mampu menahan amarah dan pemaaf akan banyak disenangi orang lain. Ternyata itu semua merupakan ciri orang bertakwa yang merupakan tujuan puasa.
Firman Allah: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Q.S. Ali Imran : 133-134)
Takwa tidak hanya dimensi vertikal hubungan kepada Allah tapi juga dimensi horizontal, hubungan kepada sesama manusia. Semoga ibadah puasa yang kita lakukan terhindar dari tipe puasa ular yang hanya mendapatkan baju baru tanpa ada karakter baru. Mari berusaha meraih puasa tipe ulat yang menghasilkan perubahan akhlak baru yang lebih baik, bermanfaat dan memberi rahmat bagi seluruh alam, Amin.
Penulis: Syamril (Rektor Kalla Institute dan Direktur Athirah)
Editor: Ramdha Mawaddha
1 Komentar