RT - readtimes.id

Redesain Keserentakan Pemilu

Oleh: Endang Sari*

Di mana mereka pergi? Ke mana kapal ini berlayar? Ke esok yang tak
diketahui…” – Gabriel García Márquez, Seratus Tahun Kesunyian

Demokrasi Indonesia, seperti kapal dalam kutipan karya García Márquez, tengah berlayar
dalam kabut menuju masa depan yang belum pasti. Pemilihan serentak, yang awalnya dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi politik, kini menghadapi tantangan  mulai dipertanyakan efektivitasnya.

Ketika pertama kali diputuskan diterapkan pada 2019, kehendak untuk menyerentakkan pemilu dilandasi pikiran bahwa desain keserentakan tersebut bisa  memperkuat sistem presidensial, terjadinya efisiensi baik anggaran maupun aktivitas proses Pemilu, hingga meluaskan partisipasi masyarakat. Akan tetapi setalah dilaksanakan selama dua kali berturut-turut
yaitu tahun 2019 dan 2024, ada beberapa catatan evaluasi yang penting untuk diperhatikan.

Efektivitas sistem  pemerintahan presidensial belum tercapai dengan kehadiran cocktail effect yang rendah. Alih-alih memperkuat presidensialisme, pemilu serentak justru menyebabkan fragmentasi kekuatan politik di parlemen. Partai-partai yang lolos cenderung terpecah, sehingga presiden kesulitan membentuk koalisi yang kuat. Ini berujung pada kebijakan yang tersendat akibat tarik-menarik kepentingan, membuat pemerintahan sulit mengambil keputusan strategis.

Menggelar Pileg, Pilpres dan Pilkada di tahun
yang sama pada tahun 2024 juga membuat beban berat bagi penyelenggara Pemilu
akibat irisan tahapan Pemilu dan Pilkada. Kondisi ini mengganggu profesionalitas penyelenggara. Belum lagi waktu perhitungan suara berlangsung lama di TPS, dan beban kerja khususnya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang cukup berat.

Masih hangat dalam ingatan peristiwa memilukan yang terjadi pada tahun 2019, berdasar data KPU RI, tercatat 722 penyelenggara yang meninggal dan 798 yang sakit karena kelelahan fisik maupun mental akibat lamanya waktu perhitungan suara dan persiapan di TPS menjelang hari pemilihan.

Keputusan memilih skema Pemilu 5 kotak secara serentak membuat beban kerja penyelenggara Pemilu menjadi berkali-kali lipat. Dengan hanya 7 orang di setiap TPS, Undang-Undang No. 7 tahun 2017 pasal (60) memberi tugas pada  KPPS untuk: mengumumkan DPT di TPS;
menyerahkan DPT kepada saksi peserta pemilu yang hadir dan pengawas TPS; melaksanakan pemungutan dan perhitungan suara di TPS; membuat berita acara pemungutan dan perhitungan suara serta membuat sertifikat perhitungan suara dan menyerahkannya kepada saksi peserta pemilu, pegawas TPS, dan PPK melalui PPS; melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, dan PPS; menyampaikan surat undangan kepada pemilih sesuai dengan DPT untuk menggunakan hak pilihnya di TPS; Bisa dibayangkan bagaimana beratnya beban yang harus dikerjakan KPPS.

Keserentakan pemilu, yang menggabungkan pemilu nasional dan lokal dalam satu waktu, sering kali juga  dianggap sebagai solusi untuk
efisiensi dan penyelarasan kepentingan antara eksekutif dan legislatif. Di atas kertas, seolah ini efisien, satu kali datang ke TPS dan menetapkan arah bangsa selama lima tahun ke depan. Namun, dalam praktiknya, pemilih dihadapkan pada pilihan yang terlalu banyak dalam satu waktu. Tidak semua pemilih mendapat informasi yang cukup mengenai calon-calon legislatif yang mereka pilih, sehingga keputusan sering kali dibuat secara terburu-buru tanpa pertimbangan yang matang. Pemilih yang seharusnya menjadi penentu arah bangsa malah menjadi korban sistem yang terlalu padat dan penuh tekanan.

Pemilu nasional bertujuan untuk memilih pemimpin dan perwakilan yang akan mengarahkan kebijakan negara secara keseluruhan, menentukan arah ekonomi, hukum, dan diplomasi. Sementara, pemilu lokal berfungsi untuk menentukan pejabat yang lebih dekat dengan masyarakat, menangani isu-isu daerah seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Kedua tingkatan ini memiliki urgensi yang berbeda, dengan kebutuhan serta dinamika yang tidak selalu sejalan. Ketika pemilu lokal dan nasional digabungkan dalam satu momentum, pemilih sering kali lebih terfokus pada kontestasi presiden, sementara pemilihan legislatif dan
kepala daerah cenderung tidak mendapat perhatian yang cukup. Akibatnya, keputusan yang diambil pemilih dalam memilih wakil di tingkat lokal bisa kurang dipertimbangkan secara matang, sekadar mengikuti arus politik nasional tanpa melihat urgensi pemerintahan daerah.

Jika pemilu lokal dan nasional dipisahkan,
fokus penyelenggaraan pemilu bisa lebih jelas dan lebih terarah, setiap kontestasi mendapatkan perhatian yang proporsional dan keputusan politik pemilih dibuat dengan pertimbangan yang matang.

Karena itu, perlu ada evaluasi ulang terhadap desain pemilu serentak agar mekanisme
ini tidak menjadi penghalang bagi efektivitas pemerintahan. Pemilu nasional dan lokal harus memiliki ruang yang cukup untuk berkembang sesuai dengan urgensi masing-masing, memberi kesempatan bagi pemilih untuk benar-benar mempertimbangkan pilihan mereka dalam setiap tingkatan pemerintahan.

Desain keserentakan Pemilu yang bisa diterapkan adalah pemisahan Pemilu Serentak
Nasional (Pemilihan Anggota DPR, DPD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden)
dari Pemilu Serentak Lokal (Pemilihan Anggota DPRD Provinsi, DPRD kab/kota, dan Pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah). Alasannya bahwa sesuai amanat UUD 1945 terdapat dua macam urusan pemerintahan, yaitu urusan pemerintahan pusat (urusan pemerintahan nasional) dan urusan pemerintahan daerah otonom. Selain itu pemisahan pemilu lokal dan nasional juga membuat daulat rakyat bisa lebih nyata karena pemisahan pemilu nasional dari pemilu lokal akan memberikan kesempatan
kepada pemilih meminta pertanggungjawaban peserta pemilu dua kali dalam lima tahun dan mengharuskan partai politik mempertanggungjawabkan kekuasaan yang
diperoleh dari rakyat dua kali dalam lima tahun.

Demokrasi harus berkembang dengan sistem yang matang. Pemilu bukan sekadar ritual lima
tahunan, tetapi ruang bagi pemilih berdaulat dan fondasi bagi pemerintahan yang efektif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

*Pengajar Pemilu di Departemen Ilmu Politik Fisip Unhas

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: