
Oleh: Ishak R. Boufakar
Tiga hari lalu, tepatnya pada 20 Mei, bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Kebangkitan Nasional—sebuah momentum bersejarah yang mengingatkan kita akan bangkitnya kesadaran kolektif rakyat dalam memperjuangkan kemerdekaan, identitas, dan persatuan di tengah gelapnya penjajahan. Hari itu menjadi simbol semangat perjuangan yang mewarnai perjalanan panjang bangsa, sebuah momen di mana rasa solidaritas dan keinginan bersama untuk bebas dari penindasan penjajah bersatu dalam tekad yang kokoh dan membara.
Namun, ketika saya menyelami buku Menemukan Kembali ‘Nasion’ Kita (2025) karya Babra Kamal, peringatan Hari Kebangkitan Nasional itu terasa jauh lebih rumit daripada yang biasa kita pahami. Buku ini tidak sekadar mengajak kita mengenang kisah heroik masa lalu, melainkan menuntun kita untuk merefleksikan dan menguji ulang makna kebangsaan itu sendiri di tengah realitas zaman sekarang. Babra tidak hanya mengajak kita merayakan “kita” sebagai bangsa yang bersatu, melainkan juga menantang kita untuk bertanya: siapa sebenarnya “kita” dalam narasi kebangsaan yang selama ini kita warisi?
Narasi kebangsaan di Indonesia sering kali digambarkan secara seragam—seolah seluruh rakyatnya bersatu tanpa ada perbedaan, luka, atau konflik. Narasi ini cenderung bersifat kosmetik, yang merayakan persatuan namun mengabaikan kenyataan keberagaman yang luas dan luka sosial-politik yang masih menganga. Babra Kamal secara kritis menggugat narasi homogen tersebut. Ia mengingatkan kita bahwa bangsa ini sejatinya dibangun atas keragaman suku, budaya, bahasa, dan sejarah yang penuh ketegangan, bukan selalu mulus dan harmonis.
Semangat Hari Kebangkitan Nasional yang awalnya lahir dari upaya menyatukan bangsa dalam keberagaman, menurut Babra Kamal, sering kali terlupakan atau terkikis oleh dominasi narasi tunggal dan kekuasaan yang tidak inklusif. Terjadilah sebuah paradoks: di satu sisi kita merayakan persatuan, namun di sisi lain mengabaikan ketimpangan sosial, marginalisasi kelompok tertentu, serta luka sejarah yang terus membekas. Buku ini membuka ruang bagi pembaca untuk menghadapi kenyataan tersebut dengan sikap jujur dan keberanian.
Dalam banyak hal, buku Menemukan Kembali ‘Nasion’ Kita mengajak kita membangun kesadaran kolektif yang bukan hanya berdasarkan nostalgia atau kebanggaan semu, tapi berdasarkan pengakuan atas luka dan keragaman yang ada. Kesadaran ini harus inklusif, tidak menutup mata pada realitas rasisme, marginalisasi, dan eksklusi sosial-politik yang masih berlangsung. Dengan cara ini, kebangkitan nasional bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan proses berkelanjutan yang menuntut keterlibatan aktif seluruh elemen bangsa untuk memperjuangkan keadilan sosial dan kesetaraan.
Apa artinya “bangsa” jika masih ada kelompok yang merasa terasing, tersingkir, atau tidak diakui haknya? Pertanyaan ini menjadi sentral dalam buku Babra Kamal. Ia mengajak kita mempertanyakan konsep “nasion” yang selama ini dipakai sebagai simbol persatuan: apakah “nasion” itu benar-benar mewakili seluruh rakyat, ataukah hanya sebagian kecil yang mendominasi narasi dan kekuasaan? Dalam konteks itu, semangat persatuan yang dikobarkan pada Hari Kebangkitan Nasional harus menjadi persatuan yang kritis dan inklusif—persatuan yang tidak menghapus perbedaan, tetapi justru merayakannya sebagai kekayaan bangsa.
Refleksi ini terasa sangat relevan di tengah dinamika sosial-politik Indonesia masa kini, di mana berbagai tantangan baru muncul—dari polarisasi politik, ketimpangan ekonomi, hingga berbagai bentuk intoleransi dan diskriminasi. Babra Kamal memberi pesan bahwa kebangkitan bangsa tidak berhenti pada satu titik sejarah atau satu momen perayaan. Sebaliknya, kebangkitan adalah proses panjang dan berkelanjutan yang harus terus kita rawat dan perjuangkan setiap hari.
Sebagai generasi penerus, kita dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk meneruskan semangat Kebangkitan Nasional dengan cara yang lebih jujur dan transformatif. Kita harus berani menghadapi realitas sosial-politik yang kompleks, termasuk rasa marah dan kecewa atas ketidakadilan yang masih ada. Namun, pada saat yang sama, kita juga harus mempertahankan harapan dan tekad untuk mewujudkan masa depan bangsa yang lebih adil, inklusif, dan merata bagi semua.
Membaca buku ini, saya merenungkan bahwa kebangkitan bukan hanya soal perayaan sejarah, tapi sebuah panggilan untuk membangun bangsa yang sadar akan sejarahnya sendiri—sejarah yang penuh perjuangan sekaligus luka, keberagaman sekaligus tantangan. Ini adalah panggilan untuk menegakkan semangat persatuan yang sesungguhnya, bukan sekadar seruan retorika.
Di hari Kebangkitan Nasional ini, marilah kita tidak hanya mengenang masa lalu, tapi juga menghidupkan semangat itu dalam tindakan nyata. Mari kita gunakan refleksi kritis seperti yang dihadirkan Babra Kamal sebagai bekal untuk membangun bangsa yang mampu menerima perbedaan, mengakui sejarahnya secara utuh, dan berani berjuang demi keadilan sosial. Dengan begitu, kebangkitan nasional akan menjadi sesuatu yang hidup dan relevan, bukan hanya di buku sejarah atau peringatan tahunan, tapi dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai bangsa yang besar dan beragam.
*Mahasiswa Kajian Budaya Unhas
Tambahkan Komentar