
Readtimes.id– Seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FIS-H) Universitas Negeri Makassar (UNM), berinisial K, resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pelecehan seksual terhadap mahasiswa bimbingannya.
Penetapan tersangka tersebut dikeluarkan berdasarkan Surat Nomor: B/1437/VI/RES.124/2025/Ditreskrimum. Laporan atas dugaan pelecehan ini sebelumnya telah disampaikan oleh korban pada 28 Januari 2025, dan telah ditindaklanjuti oleh penyidik Unit PPA Polda Sulsel, dengan memeriksa sedikitnya tiga mahasiswa sebagai saksi.
Menurut keterangan dari LBH Makassar selaku pendamping hukum korban, tindakan pelecehan yang dilakukan pelaku tidak hanya terjadi sekali, melainkan berulang di berbagai semester.
Pelecehan terjadi baik secara fisik maupun nonfisik, dimulai sejak pelaku menjadi dosen mata kuliah sekaligus dosen pembimbing korban. Posisi tersebut digunakan pelaku untuk menciptakan ruang-ruang komunikasi dan pertemuan yang tidak sehat.
” Semoga kedepan Polda Sulsel menjalankan proses hukum secara objektif, transparan dan tanpa ada intervensi, tekanan, maupun sikap kompromi dari pihak manapun. Proses ini harus terus berjalan sebagai bentuk keberpihakan kepada korban, bukan kepada pelaku,” ujar korban.
Sebelumnya korban sempat dimintai keterangan oleh Wakil Dekan III FIS-H UNM pada 2 Februari 2025, didampingi oleh LBH Makassar. Dalam kesempatan itu, korban menegaskan bahwa ia tidak ingin laporan ini dianggap mencemarkan institusi, melainkan sebagai upaya membersihkan kampus dari kekerasan seksual.
“Saya percaya, tindakan tegas terhadap pelaku adalah bentuk keberpihakan UNM terhadap nilai kemanusiaan dan integritas akademik,” lanjut korban.
Ancaman dan Manipulasi Akademik
Korban menyampaikan bahwa pelaku pernah mengancam akan menahan nilai mata kuliah jika korban tidak mengikuti keinginannya. Bahkan, dalam salah satu kejadian, korban dipanggil ke rumah pelaku dengan dalih remedial, namun justru diminta memijat tubuh pelaku, dan mengalami pelecehan fisik.
” Jika merujuk pada Pasal 6 huruf a UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tindakan ini tergolong sebagai pelecehan seksual fisik,” jelas Mirayati Amin, pendamping hukum dari LBH Makassar.
LBH Makassar juga mendesak pihak birokrasi kampus untuk segera memberikan sanksi administratif terhadap dosen yang kini berstatus tersangka, serta mendukung penuh proses hukum yang sedang berjalan.
“Karena pelaku memanfaatkan jabatannya sebagai dosen dan pembimbing untuk melakukan kekerasan seksual, maka perlu dikenakan juga Pasal 15 ayat (1) huruf b UU TPKS, dengan ancaman pidana maksimal 7 tahun,” tambah Mira.
Kampus Tidak Aman, Kasus Berulang
Kasus ini bukan yang pertama terjadi di lingkungan kampus UNM. Tercatat sejak tahun 2022, kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual terus terjadi di lingkungan Universitas Negeri Makassar (UNM). Melalui pendampingan langsung dan pemantauan media, LBH Makassar mencatat kegagalan kampus dalam menangani kasus-kasus serupa secara serius dan tuntas.
Satu diantara kasus yang pernah mencuat adalah tindakan petugas keamanan yang secara diam-diam merekam mahasiswa peserta Program Pertukaran Mahasiswa di Hotel La macca, tempat tinggal sementara bagi 82 mahasiswa. Di tahun yang sama, kasus kekerasan seksual juga dilaporkan terjadi di Fakultas Bahasa dan Sastra, tepatnya dalam kegiatan himpunan jurusan. Masih di tahun 2022, Fakultas Teknik turut menjadi sorotan setelah seorang dosennya diduga terlibat dalam kasus serupa.
Menurut LBH Makassar, rangkaian kasus ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi birokrasi kampus, mengingat UNM sebagai institusi pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab besar terhadap mahasiswa, orang tua/wali, serta masyarakat umum dalam menjamin ruang belajar yang aman dari segala bentuk kekerasan seksual.
Tren kekerasan seksual di kampus tidak dapat dilepaskan dari relasi kuasa yang timpang, di mana pelaku memanfaatkan posisi dan otoritasnya untuk menundukkan korban. Dalam konteks penanganan, birokrasi kampus dan Satgas PPKS seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencegah dan menyelesaikan kasus.
Dosen atau tenaga pendidik seringkali menggunakan kekuasaan akademik mereka untuk mengancam korban, baik secara langsung maupun terselubung. Dalam kasus ini, korban menghadapi tekanan berlapis: ancaman dari pelaku, rasa malu, kegagalan kampus dalam memberikan jaminan perlindungan, serta cara pandang birokrasi yang tidak berpihak. Budaya patriarki dan bias gender juga turut memperparah keadaan, terlebih ketika korban adalah seorang laki-laki yang justru dianggap lemah atau diragukan kesaksiannya.
Beban dan risiko yang ditanggung korban sangat besar. Ia harus bergulat sendiri dengan trauma, tekanan, dan konsekuensi sosial. Oleh karena itu, upaya menciptakan ruang aman dan memberikan dukungan penuh terhadap korban adalah langkah paling tepat dan mendesak saat ini.
“A merupakan korban yang harus didukung, kasus seperti ini kasus yang sangat tertutup. Jika tidak ada itikad untuk mendukung dan menjamin ruang aman dalam Kampus, tentu kedepannya akan terjadi kasus serupa,”pungkas Mirayati Amin.
Editor : Ramdha Mawaddha