RT - readtimes.id

Saatnya Perang Gerilya Melawan Covid

Readtimes.id– “Dunia saat ini sedang berperang. Perang tanpa senjata dan peluru. Perang tanpa tentara manusia. Perang tanpa batas. Perang tanpa perjanjian gencatan senjata”. 

Yoweri Kaguta Museveni, pernah mengatakan itu  kepada warga negaranya di Uganda. Melalui pidatonya  yang kini tersebar dari medsos ke medsos,  ia tidak hanya memperingatkan masyarakat Uganda, namun juga masyarakat dunia. Bahwa saat ini kita tengah berperang. Perang melawan musuh yang tidak kasat mata, cepat, juga tak punya setitik rasa kemanusiaan.

Segalanya berhasil dilumpuhkan. Kesehatan, ekonomi, gaya hidup, bahkan politik. Semua pemimpin dunia dipaksa meracik kebijakan yang tepat dan cepat untuk menghadapinya. Jika tidak, negara kolaps. Masyarakat bisa mati dengan macam pilihan, karena kesehatan menurun atau  resesi ekonomi akut.

Dalam kondisi seperti ini, corak sistem pemerintahan baik demokrasi atau otokrasi menjadi kabur dan tidak lagi penting. Yang penting adalah bagaimana menggunakan waktu sebaik mungkin dalam menciptakan kebijakan yang cepat dan juga tepat untuk menyelamatkan banyak nyawa.

I Ian J. Bateman, profesor Ekonomi Lingkungan di Universitas Exeter di Inggris sekaligus seorang peneliti dalam jurnal Cross-Country Comparison of Covid-19 : Policy, Politics, And the Price Life, dalam wawancaranya dengan sebuah media mengatakan,  bahwa keterlambatan penindakan karena melalui pendekatan yang terlalu rumit dan tidak konsisten adalah faktor yang bisa menghasilkan lebih banyak kematian, lebih banyak penyakit, biaya yang lebih tinggi dan kerusakan ekonomi yang lebih besar.

Dan hari ini Indonesia nampak harus menghadapi dampak dari keterlambatan penindakan dan pendekatan yang terlalu rumit dan tidak konsisten itu.

Data terbaru dari Covid19.go.id mengungkapkan bahwa angka penularan Covid Indonesia hari ini telah menembus angka 3 juta kasus, dengan pertambahan kasus harian di atas 25 ribu. Meskipun angka penularan secara fluktuatif mengalami penurunan per hari, namun angka kematian per hari masih tinggi, yakni hampir menyentuh angka 1500 kasus.

Penurunan angka penularan harian secara fluktuatif pun nyatanya bukanlah kabar yang sepenuhnya baik, karena disebabkan oleh adanya penurunan jumlah pemeriksaan yang dilaporkan secara signifikan, yang saat ini hanya mencapai 124.139 pemeriksaan. Itu artinya masih ada masyarakat yang positif ,namun sampai hari ini belum terdeteksi.

Sementara di lain sisi, data Laporcovid 19  menunjukkan adanya peningkatan tren  kematian di luar rumah sakit, khususnya yang tengah menjalani isolasi mandiri, dimana sejauh ini sudah ditemukan 2.670 pasien isolasi mandiri di 88 Kabupaten/Kota di 17 provinsi yang meninggal dunia.

Banyaknya data yang tersebar dan belum tersinkronisasi dengan baik ditambah menurunnya pemeriksaan ini nampak membuat pernyataan  dari media luar yang menyebut bahwa Indonesia merupakan episentrum baru Covid dunia semakin nampak benar adanya.

Pernyataan yang ditolak mentah -mentah oleh Kemenkes karena bukan bersumber dari Badan Kesehatan Dunia atau WHO itu, secara tidak langsung menunjukkan posisi dan kondisi Indonesia saat ini yang masih belum berhasil melewati krisis.

Dilema antara mengutamakan ekonomi negara atau kesehatan terlebih dahulu adalah sebab segala kebijakan yang ada menjadi rumit, lambat dan tidak efisien secara waktu, sehingga hasilnya tak dapat dirasakan secara positif oleh publik

Ini tidak hanya dapat dilihat dari sisi kesehatan melainkan juga ekonomi. Menghindari Undang Undang nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan di mana lebih memilih penerapan berbagai kebijakan pembatasan dengan alasan agar ekonomi negara  tidak terpuruk  lebih sejatinya sampai hari ini tak kunjung membuahkan hasil yang signifikan bahkan sebaliknya turun kelas.

Tercatat dari data laporan Bank Dunia melaui laman resminya mengumumkan negara ini  kembali masuk dalam negara lower middle income, yakni dari US$ 4.050 pada tahun 2020 menjadi menjadi US$ 3.870 Juli 2021.

Perang Gerilya Dimulai 

Kini negara tidak memiliki cukup waktu untuk menutupi kondisi yang sebenarnya, dengan berbagai penyangkalan atau bersembunyi di balik alasan mencegah kepanikan publik seperti yang lalu-lalu. Sudah saatnya masyarakat tahu untuk dapat ikut serta bergerilya bersama menyelamatkan negara.

Aksi solidaritas adalah jalan seperti yang diterangkan oleh Andi Ali Armunanto, pakar  politik Universitas Hasanuddin kepada readtimes.id.

A.Ali Armunanto, S.IP.,M.Si

Di mana sebagian masyarakat saat ini perlahan telah memulainya di sejumlah daerah. Membantu sesama dengan dalih ingin meringankan beban di saat krisis. Gerakan mereka mungkin tidak sebesar partai namun cukup jelas dan lebih efektif dalam kondisi saat ini.

Lebih dari itu munculnya aksi yang tersebar di sejumlah daerah ini tidak layak jika hanya dipandang sebagai aksi empati sosial publik semata,   melainkan alarm bahwa sudah saatnya negara melibatkan warganya.

Sebagai negara yang 75  tahun telah percaya dengan kekuatan demokrasi, Ini adalah saatnya Indonesia sadar, bahwa ketika negara tidak lagi mampu berdiri melewati krisis, maka kekuatan sipil adalah kuncinya.

Ona Mariani

2 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: