RT - readtimes.id

Sanksi Dosen Pelaku Pelecehan Seksual di FIB Unhas Dinilai Tak Beri Efek Jera

Readtimes.id– Sanksi yang dijatuhkan kepada dosen Fakultas Ilmu Budaya Unhas, Firman Saleh (FS), pelaku pelecehan seksual terhadap mahasiswa bimbingannya dinilai tidak memberikan efek jera.

Sebelumnya Unhas melalui Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) menjatuhkan sanksi pada FS berupa skorsing selama dua semester dari tugas mengajar.

Koordinator bidang perempuan, anak, dan disabilitas Lembaga Bantuan Hukum ( LBH) Makassar, Ambara Dewita Purnama mengatakan sanksi administrasi yang diberikan oleh Unhas melalui Satgas PPKS tidak memberikan efek jera

“Mengenai pelecehan seksual yang terjadi di FIB Unhas dan sudah diterapkan sanksi administrasi bagi si pelaku, menurut kami sanksi yang diberikan itu sebenarnya tidak memberikan efek jera karena itu masih sebatas dalam aturan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan di lingkungan perguruan tinggi dan yang memberi sanksi ini kan masih Satgas PPKS,” ujar Ambara pada Readtimes, Rabu 20 November 2024.

Dia mengungkapkan jika Satgas hanya merujuk pada Permendikbud Nomor 30 memang sanksi administratifnya ringan untuk pelaku yang berstatus dosen. Berbeda jika pelakunya berstatus sebagai anggota Satgas, Kepala atau Ketua Prodi dan Ketua jurusan ini sanksi administratifnya masuk dalam kategori berat.

“Pasal 16 Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 itu mensyaratkan baru bisa diberikan sanksi administrasi yang berat jika korban merupakan penyandang disabilitas dan memperhatikan dampak kekerasan seksual yang dialami korban, dan atau terlapor atau pelaku merupakan anggota Satgas kepala atau ketua Prodi atau ketua jurusan,” tambah Ambara.

Dia memandang seharusnya Universitas Hasanuddin tidak langsung berhenti dan hanya merujuk pada Permendikbud 30, tapi juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) jika memang dalam pemeriksaan oleh Satgas PPKS ditemukan bukti yang kuat bahwa pelaku telah melakukan kekerasan seksual secara fisik.

“Dalam undang-undang TPKS sendiri seandainya memenuhi unsur tindak pidana kekerasan seksual fisik itu akan ada pemberatan jika dilakukan oleh dosen itu sendiri, ” jelas Ambara.

Dia berharap kasus ini tidak berhenti hanya sampai di tingkat perguruan tinggi saja, tapi melibatkan juga aparat penegak hukum untuk mengkaji lebih jauh apakah pelecehan yang dialami korban ini benar memenuhi unsur tindak pidana kekerasan seksual atau tidak.

Diwawancarai terpisah, Komite Anti Kekerasan Seksual (KAKS) Universitas Hasanuddin juga berharap Unhas bisa tegas dalam menghadapi pelaku kekerasan seksual dalam lingkup kampus mengingat kasus pelecehan seksual dengan oknum dosen ini terjadi berulang kali.

“Berdasarkan hasil kajian kami sebelumnya mengapa kasus pelecehan seksual di Unhas itu terus berulang seperti ini, karena tidak adanya sanksi tegas dari universitas. Misalnya kasus seperti ini yang sudah terbukti bahwa pelaku bersalah. Unhas tidak mengambil tindakan yang membuat pelaku jera misalnya dengan pemberhentian tetap, “ujar Koordinator Umum Komite Anti Kekerasan Seksual (KAKS) Universitas Hasanuddin, Santi, pada Readtimes, Senin 18 November 2024.

Dia berharap Unhas melalui Satgas PPKS dapat memahami posisi korban pelecehan seksual di lingkungan kampus yang mengalami trauma berkepanjangan atas kasus yang dialaminya.

“Terlebih jika pelakunya ini adalah sosok yang mempunyai jabatan di kampus seperti dosen, tentu ada relasi kuasa di sini yang membuat segala sesuatunya menjadi tidak mudah, ” tambahnya.

Sebelumnya, Readtimes berusaha menghubungi korban melalui bantuan Komite Anti Kekerasan Seksual Unhas untuk mengetahui kondisi korban lebih jauh, namun hingga berita ini diturunkan korban belum merespons.

Menurut informasi yang dihimpun oleh Readtimes, korban mengaku menjadi korban pelecehan seksual oleh FS pada 25 September lalu, ketika ia datang melakukan bimbingan terkait rencana penelitian skripsinya.

“Saat hari itu saya minta pulang dia ndak izinkan saya pulang. Habis itu, dia awalnya kayak pegang ji tanganku, saya tarik, nda lama dia peluk ka sampai saya jaga area (sensitif) ku,” kata korban mengutip detikSulsel saat meminta keterangan korban pada Senin 18 November 2024.

Meski telah ditolak, pelaku disebut terus memaksa memeluk dan menciumnya. Bahkan dosen tersebut terus menggerayanginya.

“Habis itu dia berusaha cium ka. Pokoknya menghindar ka terus, saya kayak jaga terus bagian badanku apa semua terus berapa kali ka minta mau ka pulang. Cuma ada dia dapat satu momen dia bisa cium ka dan peluk sampai bisa dibilang tinggal celana ku mungkin yang belum dia buka,” katanya sambil terisak.

Akibat peristiwa itu, korban mengaku mengalami trauma. Hingga akhirnya dia memberanikan diri untuk melaporkan kejadian itu ke Satgas PPKS Unhas.

Saat diperiksa Satgas, korban sempat merasa kembali tak mendapat perlindungan. Korban mengaku bahkan sempat disudutkan dan dituduh berhalusinasi.

Korban akhirnya bisa membuktikan laporannya saat Satgas PPKS Unhas membuka rekaman CCTV saat pemeriksaan ketiga di Satgas PPKS. Dalam rekaman tersebut terungkap jika pengakuannya saat diperiksa sesuai

Usai pemeriksaan, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Hasanuddin (Unhas) kemudian menjatuhkan sanksi terhadap pelaku.

“Sanksi kami berikan berat, saat proses pemeriksaan langsung dinonaktifkan dari jabatan akademik yang diberikan dan diberhentikan sementara melaksanakan tugas Tridharma mulai semester ini, ditambah dua semester depan,” kata Ketua Satgas PPKS Unhas Prof Farida Patittingi dalam keterangan tertulisnya.

Pelaku yang menjabat Ketua Gugus Penjamin Mutu dan Peningkatan Reputasi pada Fakultas Ilmu Budaya Unhas ini juga diberhentikan secara tetap. Keputusan itu kata Farida, merupakan wujud nyata dari komitmen universitas dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman, inklusif, dan bebas dari segala bentuk kekerasan.

Proses investigasi, kata Farida, juga telah dilakukan secara menyeluruh mulai dari pengumpulan bukti, pendalaman keterangan dari pihak-pihak terkait, dan pemberian ruang bagi korban untuk menyampaikan kronologi kejadian secara aman.

”Pemberian sanksi ini diharapkan menjadi peringatan keras bagi seluruh sivitas akademika untuk senantiasa menjaga integritas, profesionalitas, dan etika dalam menjalankan tugas,” ucap Farida Patittingi.

Komitmen ini tidak hanya untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, namun juga menjadi langkah strategis dalam membangun budaya kampus yang bebas dari kekerasan seksual. (OM)

Editor: Ramdha Mawaddha

Jabal Rachmat Hidayatullah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: