Readtimes.id—Dugaan kebocoran ekspor bijih nikel ilegal oleh beberapa oknum dinilai bukanlah fakta baru. Nyatanya, jauh sebelum dikeluarkannnya peraturan pelarangan ekspor bijin nikel pada 2020, aktivitas ini telah menjamur di sebagian perusahaan pertambangan nikel.
Pelarangan ekspor bijih nikel tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 yang mengamanatkan pelarangan mulai 2 Januari 2020.
Pengamat pertambangan dan peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, menyatakan terjadinya praktik ekspor nikel ilegal ini merupakan imbas dari pelaksanaan tata niaga yang tidak tersistematis.
Hal itu ia dapati ketika berkunjung ke daerah pertambangan di Sulawesi sebelum diberlakukannya aturan aktivitas ekspor nikel. Ia memerhatikan begitu banyak kapal bongkar muat barang yang melakukan praktik ilegal tersebut.
“Modusnya adalah persekongkolan juga soal tata niaga berantakan,” ujarnya.
Hal ini kemudian diperparah dengan adanya praktik false invoicing atau praktik manipulasi kalori komoditas. Kalori tinggi dibuat rendah agar pajak ke negara lebih kecil. Akhirnya negara tambah merugi akibat praktik ini.
Kemudian semenjak adanya pembatasan ekspor, banyak perusahaan tambang kecil yang belum memiliki pabrik smelter mau tidak mau harus menjual nikel pada pabrik yang telah ada. Permasalahannya adalah pihak pabrik tersebut disinyalir bersekongkol untuk menyusun harga nikel, padahal sudah ada harga patokan minimum (HPM) dari pemerintah selain dari harga pasar.
“Jika solusi yang ditawarkan adalah membangun pabrik untuk penambangan kecil saya rasa itu sulit, karena bangun pabrik itu mahal berkisar 300-600 juta euro,” jelasnya.
Pabrik yang telah ada ini kemudian membeli hasil tambang tidak berdasarkan HPM dan harga pasaran. Mereka membeli pada harga paling bawah yang berakibat meruginya perusahaan tambang kecil. Hal ini kemudian menjadi pemicu banyak penambang menjual hasil tambanganya pada perusahaan ilegal.
Baca juga : PT Timah Perketat Pengamanan Konsensi dari Tambang Ilegal
Berkaitan dengan hal tersebut, persoalan yang kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimana praktik jual beli nikel ilegal ini bisa lolos dari pelabuhan bongkar muat?
Ferdy mengamati bahwa kebocoran ini hanya bisa terjadi karena ada kerja sama atau sindikasi antara oknum perusahaan dengan pemerintah, baik pusat ataupun daerah. Sehingga, ia mengingatkan Jokowi untuk tak hanya rajin bikin aturan tapi juga menertibkan anak buahnya.
Untuk itu, perlu ada pendisiplinan tata niaga sekaligus pejabat publik yang melibatkan lintas sektoral, seperti Kementerian ESDM, Dirjen Bea Cukai, Kementerian Perindustrian, hingga Kementerian Perhubungan. Tujuannya agar data dugaan ekspor ilegal yang dipaparkan pada khalayak lebih jelas dan praktik bongkar muat ekspor ilegal di pelabuhan daerah bisa diatasi.
Ferdy menyebut penertiban tata niaga jadi kunci karena smelter di RI sudah memadai. Data Kementerian ESDM menyebutkan per Juni 2021 sudah ada 23 smelter yang beroperasi dan ditargetkan pada 2024 mendatang akan ada 53 smelter.
Di sisi lain, ia menyebut jumlah smelter boleh banyak tapi hati-hati potensi hilirisasi dikuasai pihak asing bila smelter-smelter baru yang dibangun merupakan investasi dari perusahaan luar.
Untuk itu Ferdy menyatakan tim supervisi tambang dari direktorat jendral mineral dan batubara tidak cukup jika hanya memantau dari pusat. Mereka harus lebih mengawasi hingga ke daerah bila perlu bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk investigasi ilegal maining.
Ia mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) boleh saja bangga RI merupakan penghasil bijih nikel terbesar dunia, tapi ia menilai tak ada gunanya bila tak bisa membendung kebocoran yang masih terjadi.
Walau menggenggam 27 persen nikel dunia, namun ia menilai Indonesia tak bakal punya daya tawar kalau masih marak menjual nikel mentah secara sembunyi-sembunyi.
Tambahkan Komentar