Penulis : L. Ayu Saraswati
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun : April 2022
Tebal : I -xiv + 254 hlm
Jika kalian salah satu orang yang setuju bahwa orang Indonesia memang mengidam-idamkan kulit terang dan putih sebagai standar kecantikan, maka buku “Putih, Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional” ini akan menjadi pelengkap pengetahuan kalian. Buku ini menelusuri sejarah panjang obsesi orang Indonesia terhadap kulit terang dan putih dari abad 9 hingga pascakolonial.
Eksplorasi teori dalam bidang kajian budaya feminis berkelindan erat dengan ragam kisah obsesi kecantikan pada berbagai negara di dunia, wabil khusus di Indonesia.
Buku yang ditulis oleh L. Ayu Saraswati, penulis dan pengajar bidang kajian perempuan di Universitas Hawai’i ini, kemungkinan besar akan membuat kita terperangah, khususnya menyangkut kasus sejarah persepsi kecantikan ideal di Indonesia. Bagaimana tidak, obsesi memiliki kulit terang dan putih rupanya bukan dimulai dari pertemuan bangsa Indonesia dengan bangsa kolonial. Namun ternyata dapat ditelusuri lebih jauh hingga ke abad 9.
Kisah Ramayana versi lokal yang diadaptasi dari India menyajikan teks yang memberi bukti terang untuk itu. Epos sastrawi abad 9 yang berkisah tentang pasangan suami-istri—Rama dan Sinta—ini memberikan gambaran bahwa Sinta adalah perempuan cantik (karena) berkulit terang, sedangkan Rahwana sebagai laki-laki jahat (karena) berkulit gelap. Hanuman, monyet yang menyelamatkan Sinta, digambarkan berwarna putih (putih disimbolisasi sebagai warna yang mewakili sifat baik).
Jadi sampai di sini buku ini mampu meyakinkan kita bahwa persepsi idealitas kecantikan sesungguhnya sudah dimulai dari abad Ramayana. Karena Ramayana berasal dari India, dapat dikatakan bahwa persepsi kecantikan ini oleh orang Indonesia didapatkan dari semesta di luar batas geografinya. Menarik, bukan?
Sebelum melangkah lebih jauh ke substansi buku, “Putih, Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional” berisi enam bab—di luar bab Pendahuluan yang cukup panjang juga. Enam bab tersebut menjelajahi sejarah panjang bagaimana persepsi kecantikan yang ideal itu masuk ke Indonesia. Sebab itulah kenapa ada kata ‘transnasional’ di dalam judul buku. Lalu fenomena tersebut dibedah menggunakan teori afek dan emosi—dua istilah yang mengacu pada pengalaman indra kita terhadap fisik orang lain. Dan semua ini bersama-sama dikaitkan dengan wacana ras dan gender di Indonesia.
Buku ini terlalu kaya untuk diringkus kesimpulannya dalam satu paragraf saja. Setiap bab memberikan pemahaman yang komprehensif terkait sub-tema yang dibicarakannya. Misalnya, elaborasi teori afek dan rasa dalam bab satu saja sudah merupakan pengetahuan yang menarik dan bermanfaat buat kita. Jika dua teori ini sudah bisa kita pahami dengan baik, bab-bab sisanya akan menjadi kian terang dan mudah diterima penjelasan-penjelasannya. Bab satu ini juga berkelindan dengan analisa teks Ramayana itu sendiri.
Jika bab satu memberikan pijakan kokoh secara teoritik sekaligus membawa kita pada abad 9 melalui Ramayana, bab dua membawa kita seribu tahun setelah Ramayana, yakni ke abad kolonialisme di Indonesia—terentang dari kolonialisme Eropa hingga Jepang. Secara topik, ulasan bab dua ini berfokus pada dua kategori yang jamak pada wacana akademis: “Putih Indonesia” dan “Putih Indonesia”. Di sini dipaparkan perbedaan dua kategori ini, dan bagaimana perbedaan penyebaran serta kampanyenya.
Lalu bab ketiga kita dilepaskan dari sejarah kolonialisme dan masuk ke sejarah kita sendiri. Maka di bab ini penulis mulai mengelaborasi bagaimana orang Indonesia mengkonstruksi diri mereka sendiri terkait idealitas kecantikan pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945. Berturut-turut 3 bab sisanya membahas dan menganalisa iklan-iklan kecantikan, hasil wawancara 45 perempuan yang melakukan prakti pemutihan kulit pada abad 21 ini, hingga menguatkan kembali posisi teori afek dan rasa dalam memahami sejarah kecantikan di Indonesia.
Saat ini nampaknya perkembangan dunia kecantikan semakin massif sebab itu barangkali semakin susah dianalisa. Produk kecantikan berseliweran di mana-mana, dan bahkan kaum laki-laki pun tidak perlu terlalu malu-malu lagi untuk ikut merawat diri agar terlihat ‘cantik’.
Namun demikian, penting bagi kita memahami sejarah dunia kecantikan agar kita bisa kritis menilai diri sendiri: kita berdandan untuk merawat diri dan sehat, atau secara tidak sadar ikut melanggengkan diskriminasi ras dan gender di sekitar kita.
Kalianlah yang membuat penilaian dan keputusan!
40 Komentar