RT - readtimes.id

Setengah Hati Sanksi Hukuman Mati Pelaku Korupsi

Readtimes.id– Ini sudah kesekian kalinya, rencana  penerapan  hukuman pidana mati bagi koruptor terlontar dari Jaksa Agung ST Burhanuddin. Tercatat sejak Oktober lalu, sosok yang belakangan ikut viral karena kasus  Pinangki Sirna Malasari ini, kerap kali mengutarakan pertimbangannya untuk mengkaji pemberian hukuman mati bagi pelaku korupsi.

Menurutnya keberadaan sanksi pidana tegas dan keras akan memiliki peran yang sangat penting dalam proses pemberantasan korupsi di  Tanah Air,  karena dinilai mampu memberikan efek jera bagi pelaku untuk kemudian tidak mengulang perbuatannya kembali.

“Hal ini terbukti cukup berhasil dengan sedikitnya pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh mantan para koruptor,” kata ST Burhanuddin seperti yang dikutip dari Antara

Penerapan hukuman mati bagi koruptor menurutnya  juga dilatarbelakangi oleh masih kurang efektifnya upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini oleh aparat penegak hukum terutama Kejaksaan Agung RI. Dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi, selain upaya preventif juga diperlukan tindakan represif yang tegas.

Kejaksaan telah melakukan upaya itu untuk menciptakan efek jera antara lain menjatuhkan tuntutan berat sesuai tingkat kejahatan pelaku.

Baca Juga : Remisi dan Ironi Pemberantasan Korupsi

 Kedua, mengubah pola-pola pendekatan, memiskinkan koruptor dengan melakukan perampasan aset-asetnya. Lalu penerapan pemberian justice collaborator(pelaku tindak pidana yang bersedia untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum turut membongkar kasus) diberikan secara selektif guna menentukan pelaku lain.

Berikutnya melakukan gugatan keperdataan terhadap pelaku yang telah meninggal dunia atau diputus bebas namun secara nyata telah ada kerugian negaranya. 

“Akan tetapi, upaya tersebut ternyata belum cukup untuk mengurangi kuantitas kejahatan korupsi. Oleh karena itu, Kejaksaan merasa perlu untuk melakukan terobosan hukum dengan menerapkan hukuman mati,” ujarnya

Pakar hukum pidana UIN Alauddin Makassar, Rahman Syamsuddin, memandang sejatinya hukuman mati bagi koruptor  bukanlah sesuatu yang baru karena telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yakni perubahan  dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tepatnya pasal 2 ayat ( 2 )yang berbunyi ” Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan” 

” Hanya yang menjadi persoalan adalah bagaimana mendefinisikan  ” keadaan tertentu ” dalam UU ini, yang menurut para penegak hukum masih  umum , ” terangnya pada readtimes.id 

Seperti yang diketahui pasca disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 2 ayat (2) mempunyai substansi tetap,   seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,  namun  penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya menjadi ” Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Menurut Rahman, ini yang masih diartikan secara umum oleh para penegak hukum, sehingga dalam prakteknya masih membutuhkan peraturan pemerintah ( PP) untuk menjelaskan ” keadaan tertentu ” tersebut.

” Jadi jika memang benar ingin didorong ya seharusnya dibuatkan PP untuk menjelaskan keadaan tertentu yang dimaksud, ” tambahnya.

Lebih jauh menurut Rahman,  selain aturan hukum yang masih dianggap umum, sulitnya penerapan sanksi hukuman mati bagi koruptor  juga disebabkan oleh pemerintah yang sejatinya kurang serius alias setengah hati dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Hal ini bisa dilihat dengan dicabutnya syarat justice collaborator dalam pemberian remisi napi korupsi dan juga pemberian vonis yang rendah  bagi koruptor dimana tidak sepadan dengan kerugian negara seperti yang terjadi dalam setahun belakangan.

Baca Juga : Penghapusan Justice Collaborator dan Titik Nadir Pemberantasan Korupsi

Dalam hal ini pihaknya memberikan permisalan kasus korupsi bansos yang dilakukan oleh mantan  Menteri Sosial Juliari Batubara.

” Kalau dilihat pada penjelas di pasal 2 itu kan  sebenarnya Juliari memenuhi persyaratan, tapi nyatanya tidak divonis hukuman mati, ” pungkasnya.

Ona Mariani

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: