Judul : Sihir, Ganja, Miras, Buku, dan Islam
Penulis : AS Rosyid
Penerbit : mera books
Tahun terbit : Februari 2022
Tebal : x + 159 halaman
Barangkali tak ada satu pun yang tidak mengikuti viralnya Mbak Rara, perempuan berambut lurus yang konon berhasil meredakan hujan deras saat perhelatan MotoGP 2022 di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Aksi yang berlangsung pada Minggu 20 Maret itu sontak memunculkan nada sinis dan mencemooh, di samping banyak juga yang membela. Ada yang bilang itu memalukan, ada yang menyebut itu semata hiburan, ada pula yang mengatakan itu syirik karena berbau klenik seperti sihir.
Nah, bicara tentang sihir, nusantara memang menjadi gudangnya. Namun, pulau Lombok punya karakternya sendiri. AS Rosyid, dalam buku terbarunya berisi kumpulan esai, “Sihir, Ganja, Miras, Buku, dan Islam”, mengatakan, “Pulau Lombok punya ragam jenis sihir. Ada sihir yang keji, ada sihir yang indah.” Memang kalimat tersebut yang terangkum dalam satu esainya, “Sihir Orang Lombok dan Hal-Hal yang Bisa Dipelajari Darinya”, ini lebih dulu terbit sebelum fenomena aksi Mbak Rara Sang Pawang Hujan tersebut ada. Tapi menjadi cukup relevan. Apalagi ditulis oleh penulis yang notabene berasal dari Lombok dengan mengeksplorasi pengalamannya sendiri.
Memang di tengah hiruk pikuknya pandangan terhadap Sang Pawang Hujan, ada tersimpan ketidaktahuan (atau sok tahu) banyak orang tentang tindakannya itu. Dengan mudahnya sebagian orang menjatuhkan penilaian yang diikuti kutukan terhadap Mbak Rara. Mereka ketakutan negara ini akan menyimpan citra memalukan di mata dunia. Ketakutan mereka kebanyakan tidak berdasar dan barangkali berasal dari ketidaktahuan.
Nah, perlu ada pembongkaran model berpikir seperti itu. Biasanya tugas pembongkaran serupa ini cocok disandangkan pada pundak para esais. Karena, tugas esai adalah membongkar gaya pemikiran yang cenderung sempit dan picik. Saya kira, membaca satu esai AS Rosyid yang disebut di bagian awal tulisan ini akan mampu menjernihkan pandangan kita terhadap fenomena Sang Pawang Hujan di MotoGP Lombok.
Itu baru satu esai. Esai-esai lainnya tidak kalah menariknya dalam membongkar pemikiran kita yang kadang terjebak dalam penghakiman tak berdasar dan mengutuk. Mari kita berkenalan dengan buku yang disinggung di atas beserta profil ringkas sang penulisnya.
Seperti telah disebutkan, judul sampul buku yang dimaksud adalah, “Sihir, Ganja, Miras, Buku, dan Islam”. Ditulis oleh AS Rosyid, penulis dan penggerak literasi dari Lombok, NTB. Buku berukuran relatif ramping ini—panjangnya sedikit saja melebihi ukuran telapak orang dewasa—bisa dibaca di mana saja saat bersantai. Tulisan-tulisan di dalamnya layaknya seorang kawan yang sedang bercerita dengan menyenangkan kepada kita.
Ada 24 tulisan di dalamnya, yang dibagi ke dalam tiga bagian. Esai-esai di dalam buku ini membincang tiga isu besar: Islam, lingkungan, dan literasi. Memang ada isu-isu minor lainnya, seperti sains, seni, kebudayaan, dan sebagainya—namun semua isu ini diikat oleh tiga isu besar yang telah disebutkan. Dan Islam menjadi sumbu tulisan dalam memandang semua isu yang diudarkan dalam buku.
Selain itu, ada juga pemikiran tokoh-tokoh sohor dalam sejarah macam Mahatma Ghandi dan Vandana Shiva—baca: “Ghandi dan Keteladan”, dan “Melihat Pangan dari Mata Vandana Shiva”. Dalam tulisan tentang tokoh-tokoh tersebut, AS Rosyid menyegarkan kembali sekaligus membumikan pemikiran mereka kepada kita. Jadi tidak terjebak pada penggambaran biografi dan teori yang mengawang-awang.
Apa yang ditawarkan oleh buku ini? di tengah-tengah buku bertema keislaman, lingkungan, dan literasi, buku ini memberi semacam sudut pandang lain dalam melihat isu-isu yang diangkat. Esai-esai di sini tidak hendak berpretensi menjadi tulisan yang mendalami lebih jauh persoalan-persoalan yang diangkat, tetapi mengajak kita berani bertanya, berani menembus tabu-tabu pengetahuan, berani ‘nakal’. “Salah satu masalah terbesar manusia adalah ketakutan dan ketakutan muncul dari ketidaktahuan. Ketakutan karena ketidaktahuan sanggup membuat masyarakat menghancurkan harta mereka yang berharga.” Tulis AS Rosyid dalam esai pembukanya, “Ganja, Kertas, dan Ketakutan-Ketakutan Kita”.
‘Kenakalan’ narasi AS Rosyid memiliki karakter yang tidak biasa—tidaklah propagandis, melainkan lembut dan sopan. Dengan cara itu dia menyindir tindakan para elit yang bergelimang harta dengan menghadirkan kisah Abu Dzar Al-Ghifari, sahabat Rasulullah, yang teguh dan berani mengkritik langsung para pejabat muslim yang menimbun harta. AS Rosyid dengan santun tapi cukup telak menertawai sinis para pelaku penyitaan buku (dia mengambil kasus di Makassar 2019 di mana segelintir orang merazia buku yang dianggap berbau komunis) tanpa tahu buku apa yang disitanya. Dan sebagainya, dan seterusnya.
Buku ini, saya kira cukup informatif. Di sana ada kisah-kisah yang tidak atau jarang kita ketahui. Misalnya, kisah sekte pembunuh bayaran dalam jagad peradaban Islam bernama Hasyasyin (yang menyumbang kosakata ‘Assasin’ berarti pembunuh dalam bahasa Inggris). Sekte yang Berjaya pada abad pertengahan ini ternyata mengoleksi ratusan ribu buku di benteng mereka pada sebuah gunung. Atau kisah beberapa kaum muslimin yang memiliki tradisi membuat catatan harian.
Jadi buku ini akan sangat cocok dibaca saat sedang jenuh, dan bersiap-siaplah dengan kenakalannya membongkar model berpikir kita yang tidak kita sadari memiliki ketakutan tidak berdasar dan cenderung menghakimi.
Pada akhirnya, saya harus sepakat dengan penilain editor buku ini, Achmad San, dalam kata pengantarnya, bahwa buku ini “..kritis, satire, unik, dan aneh-aneh”.
Baca juga : Rumah Sederhana dari Tumpukan Buku-buku Jadul
Tambahkan Komentar