Readtimes.id– Boom ! Ledakan keras mengejutkan warga Makassar pada minggu 28 maret pukul 10.30 pagi di sekitar area Gereja Katedral yang hari itu tengah dipenuhi oleh jamaat untuk menjalankan ibadah Palma sebagai tanda menyambut Pekan Suci jelang kebangkitan Yesus Kristus.
Suasana seketika berubah menjadi tidak kondusif, setelah dua orang pengendara sepeda motor melintas dan meledakkan bom di depan gereja, di mana sebelumnya juga memaksa masuk ke dalam lingkungan gereja namun dihadang oleh pihak keamanan. Dan lagi, aksi bom bunuh diri kembali terjadi di tanah air. Setelah Bali, Poso, Jakarta, Cirebon, Surabaya, kini ledakan bom yang menewaskan pelakunya itu terjadi di Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan yang sering disebut sebagai “pintu gerbang” Indonesia Timur .
Islah Bahrawi pengamat terorisme memandang bahwa kasus yang terjadi di Makassar tersebut tidak dapat dipisahkan dari rentetan kasus -kasus yang ditangani oleh pihak kepolisian juga Tim Densus 88 dalam beberapa tahun terakhir
” Pesannya adalah mereka tengah melakukan pemberontakan dimana merespon upaya aparat berwenang yang dalam beberapa tahun belakangan tengah berusaha untuk memutus mata rantai jaringan terorisme dengan melakukan penangkapan oleh beberapa orang dari kelompok mereka serta melakukan pemutusan aliran pendanaan pada mereka, ” ujar Direktur Jaringan Moderasi Indonesia ini.
Pihaknya menilai dengan gerak terbatas dan aliran pendanaan yang semakin minim pada akhirnya menjadikan gerakan para pelaku teror bom ini hanya bermain pada basis kewilayahan atau sektoral.
” Bom bunuh diri di Makassar atau Surabaya ini juga bukti bahwa mata rantai itu mulai terputus sehingga mereka beralih pada struktur terkecil dari gerakan mereka yang sifatnya lebih sektoral ini tadi,” tambahnya
Ketika disinggung lebih jauh mengenai lokasi pengeboman yang selalu menyasar rumah ibadah dan tempat -tempat umum lainnya seperti kantor polisi dan hotel menurut pihaknya ini tidak terlepas dari tujuan serta dasar gerakan organisasi yang menghimpun para pelaku teror ini.
Jika yang disasar adalah tempat ibadah maka menurut Islah basis gerakan organisasi mereka tak lain adalah teologis atau penganut konsep -konsep Ketuhanan. Namun jika yang disasar adalah tempat umum di luar itu seperti kantor polisi, maka basis gerakan mereka tak lain adalah politik.
Terlepas dari motif dan pesan apapun yang hendak disampaikan oleh para pelaku teror. Wujud praktik terorisme dalam bentuk apapun di negara ini tidak dibenarkan. Momentum ini perlu menjadi evaluasi besar bagi pemerintah terkait sejauh mana upaya deradikalisasi itu sudah dijalankan. Benarkah sudah menyentuh akar atau masih sekedar di atas permukaan ?
Tambahkan Komentar