Judul : Subuh
Penulis : Selahattin Demirtaş
Penerjemah : Mehmet Hassan
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun : 2020
Tebal : viii + 118 halaman
Sebelas cerita pendek (cerpen) dalam buku “Subuh” ini akan mengingatkan kita pada kisah-kisah tragis dalam kehidupan keseharian kita di Indonesia. Padahal, latar tempat dan budaya dalam semua cerpen berpusat di Turki dan Timur Tengah. Perempuan yang diperkosa tapi masih disalahkan, orang-orang kecil yang dilecehkan tapi sulit mendapatkan keadilan, dan kaum minoritas yang rentan di hadapan konflik—rasa-rasanya sering kali menghiasi berita di media.
Ajaib sebetulnya kita mendapati momen berdirinya bulu kuduk seusai membaca beberapa cerpen di dalam “Subuh”, mengingat cerpen-cerpennya ringkas dan ada yang benar-benar pendek, dan ukuran bukunya pun nyaris menyerupai buku saku. Tapi begitulah jaminan yang diberikan oleh penulisnya, Selattin Demirtaş, sastrawan asal Turki.
Yang lebih ajaib lagi, cerpen-cerpen di buku ini ditulis dari dalam penjara. Selattin Demirtaş adalah juga seorang politisi dari partai progresif, Partai Demokratik Rakyat. Nampaknya, semangat politiknya yang anti pada nilai patriarki, mendukung gerakan feminis, dan pro pada hak-hak minoritas, tercermin kuat pada sebelas cerpennya yang termuat dalam buku “Subuh” ini.
Kesan yang paling kuat dari semua cerpennya adalah berkisah tentang nasib kaum perempuan. Kesan itu dipertegas oleh pendakuan penulis sendiri dalam halaman persembahan yang berbunyi, “untuk para perempuan korban kekerasan dan pembunuhan.” Perempuan-perempuan digambarkan dalam banyak cerpen sebagai sosok yang penuh perjuangan, bahkan ada yang bernasib tragis.
Untuk menyebut beberapa cerpen yang mengudar persoalan nasib kaum perempuan, di sana ada “Seher”, “Laki-laki dalam Jiwa kami”, “Gadis Laut”, “Membikin Perhitungan Bersama Ibu”, dan lain-lain.
Namun demikian, beberapa cerpen juga mengudar persoalan kritik pada kehidupan bernegara, kemanusiaan, dan keadilan. Semuanya ditulis dengan narasi yang mengalir dan enak dibaca. Mungkin karena hasil penerjemahannya yang baik. Belum pula nuansa humor yang jahil dan gelap juga penuh teka-teki di beberapa cerpen. Misalnya, “Ah, Asuman”, “Nazan Petugas Kebersihan”, termasuk beberapa cerpen yang telah disebutkan sebelumnya.
Beberapa istilah dalam bahasa Turki (cerpen-cerpen diterjemahkan langsung dari bahasa Turki) turut diberikan catatan kaki, sehingga membantu pembaca memahami konteksnya. Intinya, ini adalah cerpen yang (nyaris) sempurna: isi cerita yang baik, penerjemahan yang baik, semuanya baik.
Barangkali di sini tak perlu diulas seluruh cerpen di dalam buku, hanya segelintir saja yang mencerminkan kisah-kisah paling kuat. Kita akan singgung cerpen “Seher”. Di cerpen ini seher sebetulnya dalam bahasa Turki berarti “Subuh”. Namun, dalam cerita dia juga adalah seorang tokoh utama—seorang perempuan.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa “Seher” ini adalah cerpen paling menyita perhatian dan menjadi jantung isi cerita yang mengisahkan kisah tragis kaum perempuan. Bahkan, si penulisnya sendiri memilih cerpen ini menjadi judul sampul buku. Artinya, si Selattin Demirtaş sendiri ‘menjagokan’ cerita ini sebagai juara dari semua cerpen.
Selahattin Demirtas sendiri dalam satu wawancara ditanyakan kenapa memilih “Seher” atau “Subuh”. Jawabannya seperti ini: “subuh menandai momen pertama munculnya cahaya dari kegelapan. Subuh melambangkan harapan yang selalu memperbarui diri setiap hari.”
“Seher” bercerita tentang tokoh perempuan bernama Seher. Kisah Seher ini sekilas nampak dekat dengan kita: dia jatuh hati kepada seorang lelaki. Sialnya, lelaki ini memanfaatkannya secara seksual. Saat si Seher diajak jalan-jalan menggunakan mobil oleh si lelaki, rupanya telah ada dua lelaki lain yang adalah temannya. Tadinya Seher mengira ia hanya akan berdua saja dengan si lelaki di dalam mobil.
Singkat cerita, Seher diperkosa oleh mereka—tiga lelaki itu. Nasib tragis Seher tidak berhenti sampai di sini. Atas peristiwa itu justru keluarga Seher sendiri menyalahkan dirinya. Dan akhirnya Seher ‘mati’ dua kali di hadapan sistem patriarki. Dia tidak mendapatkan keadilan.
Akhir cerpen bernarasi seperti ini: “Tiga laki-laki merampas mimpi Seher di tengah hutan pada petang hari. Tiga laki-laki mengambil nyawa Seher di ladang kosong pada larut malam.”
Begitulah, bagaimana perempuan bernama Seher memberikan cerminan kisah tragis kaum perempuan korban kekerasan dan pembunuhan. Dan ini, rasa-rasanya, tidak hanya terjadi di Turki atau Timur Tengah, namun juga di sekitar kita di Indonesia.
Masih banyak Seher-Seher lain yang masih tertindas dan belum mendapatkan keadilan!
39 Komentar