Readtimes.id– Penuh kejutan. Itulah dua kata yang tepat untuk menggambarkan sejumlah kebijakan yang hadir di balik meja Jokowi selama pandemi.
Setelah berhasil menghebohkan publik dengan tarik ulur revisi waktu pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan sinyal revisi Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE), kini orang nomor 1 di Indonesia itu kembali menghebohkan publik dengan aturan baru yakni tentang investasi miras yang tertuang dalam Perpres 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang ditekennya pada 2 Februari 2021 lalu.
Namun karena mendapatkan kritikan dari banyak pihak terutama ormas beragama, aturan tersebut lantas dicabut pada 2 Maret 2021 dimana tepat 1 bulan setelah diteken. Aroma tergesa-gesa dalam menyusun aturan pun tercium kuat di muka publik.
Adalah Deddy T. Tikson pakar kebijakan publik Universitas Hasanuddin menilai bahwa hal bisa terjadi karena dalam penyusunannya pemerintah tidak melakukan analisis kebijakan ( policy analysis)
” Dalam ilmu kebijakan publik itu ada namanya policy analysis. Dari sini kita bisa menghitung cost benefit dalam hal ini mungkin dari sisi ekonomi sebuah kebijakan dan melihat social benefit. Dan saya tidak yakin pemerintah dalam menyusun Perpres miras ini memperhitungkan itu semua, sehingga jadinya ya menuai protes” terangnya
Mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ( FISIP) Unhas ini juga melihat bahwa meskipun dasar pengambilan kebijakan ini adalah karena ekonomi untuk meningkat daya investasi namun sejatinya pemerintah tidak menganalisis itu terlalu dalam karena sejatinya investasi miras ini tidak terlalu berdampak signifikan untuk perekonomian
” jika memang tujuannya adalah meningkatkan pangsa pasar minuman lokal seperti tuak atau pun arak misalnya, sekalipun tidak dibuatkan peraturan semacam ini mereka kan tetap berproduksi. Namun kita kan bisa lihat seberapa besar sih pengaruhnya pada perekonomian kita. Makanya saya ragu jika pemerintah melakukan analisis mendalam soal ini” tambahnya
Seperti yang diketahui menurut data yang dipaparkan oleh ekonom INDEF ( Institute for Development of Economics and Finance) Dradjad Wibowo pada media Republika. Pada tahun 2018 nilai angka yang dihasilkan impor miras sangat kecil besarannya hanya sekitar 40,44 juta dolar AS atau Rp 600 miliar pada 2018.
Ditambah lagi terhitung per 2016 hanya sekitar 0,8 liter per kapita per tahun tergolong sangat rendah di jajaran negara dunia seperti Seperti di Thailand sebesar 8,3 liter per kapita per tahun, atau AS sebesar 9,8 liter per kapita per tahun. Belum lagi dampak miras yakni kriminalitas dan kesehatan juga akan menghantui ekonomi negara.
Lebih jauh mengenai social benefit Deddy T Tikson menyesalkan mengapa pemerintah sebelumnya tidak berkonsultasi dengan para ormas beragama sebagaimana menjadi pihak yang paling diperhitungkan pendapatnya ketika pencabutan Perpres nomor 10 Tahun 2021 tersebut
” orang di sekeliling Presiden kan harusnya paham itu. Apalagi posisi Ma’ruf Amin kan cukup di dengar di ormas kita. Kenapa pendapatnya baru dipertimbangkan ketika proses pencabutannya saja , kenapa tidak ketika penyusunannya” ujarnya
Pada akhirnya kebiasaan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan yang kemudian tanpa menggunakan pertimbangan ilmu pengetahuan seperti apa yang kemudian disebut sebagai Peter Drucker seorang tokoh manajemen publik akan menjadi sesuatu yang omong kosong.
Dan wajar jika pada akhirnya yang terbentuk bukanlah nalar kritis masyarakat di tengah krisis, melainkan rasa curiga dan tidak percaya dalam setiap pengambilan kebijakan, sembari menunggu hadirnya seorang pahlawan kesiangan yang menjelma menjadi pendengar masyarakat yang baik. Sampai kapan?
Tambahkan Komentar