Judul: Belajar Mencintai Kambing
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Mojok
Tahun Terbit: 2016
Tebal: 179
Apabila cinta menguasai, tidak ada keinginan untuk berkuasa, dan apabila kekuasaan menonjol, kasih akan surut, Yang satu adalah bayangan dari yang lain. (Carl Gustav Jung, psikolog Swiss)
Tidak ada tarian, tak ada nyanyian, yang ada hanya sunyi, seperti suasana desa yang bersahaja, entitas yang menurut penulisnya selalu ingin ia tinggalkan tapi secara diam-diam justru sering didatanginya. Demikian yang ingin diungkapkan oleh Mahfud Ikhwan–Pemenang 1 Sayembara Menulis Novel DKJ 2014 dalam kumpulan cerpen (kumcer) “Belajar Mencintai Kambing”.
Kumcer ini berisi empat belas cerita pendek, yang di dalam daftar isinya terbagi menjadi tiga bagian utama, Belajar, Mencintai dan Kambing. Kambing dan Cak Fud (panggilan akrab Mahfud Ikhwan) seakan tidak terpisah, seperti yang diutarakan pada salah satu wawancara, bahwa kambing adalah bukan soal yang biasa bagi dia, “itu soal yang esensial”.
Sementara itu cerpen “Jeritan Tengah Malam” berkisah tentang kegagalan panen jagung warga desa, yang ditengarai dirusak oleh sekelompok kera yang menghuni salah satu bagian tebing di dekat persawahan warga, orang-orang naik pitam dan membantai kera-kera itu. Namun setelah waktu berlalu, warga desa baru menyadari, bahwa ternyata yang merusak tanaman jagung mereka justru bukan kera-kera itu, saya serta merta membayangkan wajah-wajah kera yang dibantai manusia itu. mungkin Cak Fud ingin menyampaikan bahwa kemanusian itu universal bukan hanya diperuntukkan bagi manusia, tapi semua makhluk yang bernyawa.
Cerpen “Bunga Di Depan Pintu”, bercerita tentang lelaki yang secara tak sengaja menemukan setangkai bunga di depan pintu kos-kosannya, ia terbawa suasana karena kemunculan setangkai bunga secara tiba-tiba didepan pintu kamarnya. Memang bunga kadang menjadi simbol seseorang yang sedang jatuh cinta, seperti kata “berbunga-bunga” yang dialamatkan pada seseorang yang sedang jatuh cinta. Ditulis dengan struktur yang begitu sederhana, jernih mengalir, sekali rengkuh.
Ada juga “Laki-laki dan Tato Perempuan di Bahunya” yang sungguh imajinatif, dengan humor segar, berkisah tentang laki-laki yang tak bahagia. perihal ketidak-bahagiaannya karena tak seorangpun perempuan di kota itu yang memperhatikannya. satu-satunya yang menaruh simpati kepadanya hanyalah gambar tato perempuan yang terpahat di bahu kanannya, dia berangan-angan seandainya gambar itu bisa hidup. Suatu malam angan-angan itu pun terjadi, tato perempuan itu hidup dan laki-laki itu pun bercinta dengannya. Sejak saat itu laki-laki bertato itu berubah dari seorang pemurung jadi periang, namun suatu hari “tato perempuan” itu meminta kepada laki-laki tersebut untuk dibuatkan tato bergambar pemuda dengan alasan bahwa mereka telah lama bercinta namun belum dikaruniai (punya) anak, atas dasar itulah ia meminta kepada lelaki tersebut untuk dibuatkan tato bergambar pemuda, keinginannya pun terpenuhi. Namun malangnya “tato perempuan” itu malah jatuh cinta dengan “tato pemuda” yang baru saja terpahat di lengan sebelah kiri laki-laki itu, karena tak tahu perihal perselingkuhan kedua tato di lengannya itu, laki-laki tersebut-pun tetap berbahagia.
Sementra itu cerpen ”bola, mata” berkisah tentang calon bintang Sepakbola, Slamet Sudarmanto, kiper Perseka, yang harus menerima kenyataan pahit, salah satu matanya cacat karena sebuah kecelakaan sebelum karirnya memuncak, sementara pada saat yang bersamaan dia sedang melamar pujaan hatinya bernama Nurhasanah, gadis yang dipacarinya sejak masih sekolah di STM. Karena ketidaksempurnaan fisik tersebut Slamet harus digantikan oleh penjaga gawang lain asal Vietnam. Nur, dengan cinta dan perhatiannya terus membesarkan hati Slamet. Walau Slamet masih terus mencoba membujuk pelatih Perseka agar tetap masih memperkuat tim, namun yang didapat hanya kekecewaan, justru pelatih yang diharapkan menyelamatkan karirnya malah mengeluarkannya dari tim. Ketegaran dan keteguhan hati menghadapi kenyataan hidup nampak ditonjolkan Cak Fud di cerpen tersebut.
Namun yang paling menarik dari kumcer ini adalah cerpen “Belajar Mencintai Kambing” yang kebetulan menjadi judul Kumcer itu sendiri, bercerita tentang seorang anak yang berharap dibelikan sepeda, alih-alih dibelikan sepeda bapaknya justru membelikannya kambing. Anak itu pun menangis, ibunya mencoba menghiburnya. menurut ibunya sepeda bisa rusak, tapi kambing justru dapat beranak. Tetapi tetap saja ia tidak menyukai kambing pemberian bapaknya itu.
Anak itu pun berupaya dengan segenap tenaga mencintai apa yang dimilikinya. “Dan ia pun terus mencintai, meskipun ia tak cukup paham bahwa hidup memang adalah belajar mencintai.Tidak gampang, itu jelas. Maka, kisah berujung bahagia telah tiba masanya: tanduk kambing itu tak mengancamnya lagi, tungkainya tidak membangkang lagi. Benar pula kata bapaknya, kambing memang tak sejahat manusia. Tak ada maksud, tak ada ingin, tanpa dendam, tanpa keculasan. Ia hanya punya naluri kehewanan, itupun jauh lebih manusiawi daripada manusia sendiri.”
Tiba-tiba saya teringat Art of loving karya Erich Fromm dalam buku mencari cinta karya Muhiddin M. Dahlan menurut dia, ketika manusia-manusia itu berusaha semakin keras untuk “dicintai”, semakin sering pula mereka membentur kegagalan. Mereka pun tertimpa penderitaan yang bertubi-tubi. Penderitaan itu diakibatkan oleh kehausan mereka “dicintai” orang lain. Karena didorong oleh insting untuk “dicintai”, para istri pun berjuang mati-matian untuk mengurus tubuhnya. Para politisi pun tidak segan-segan berbohong, ludah di mulut mereka berleleran dengan dusta agar tetap “dicintai” para pemilih dan pengikut mereka.
Untuk menyembuhkan manusia yang sedang terbaring sakit spiritualnya adalah dengan mengajarkan mereka bagaimana belajar “mencintai”. Selama ini menurut Muhiddin cinta terjebak dalam kata “kecelakaan” bila ada orang yang sedang tertarik dengan orang lain kita menyebutnya “jatuh cinta” atau fall in love, bukannya “belajar mencintai” atau learn to love. Disebut “jatuh” karena kita menganggap mencintai sebagai suatu kecelakaan yang tidak direncanakan sebelumnya.
Sepertinya Cak Mahfud ingin mengajak kita untuk sampai pada apa yang dimaksud Fromm sebagai cinta yang autentik, yakni, bila kita mampu membebaskan diri kita dari ketakutan bahwa cinta akan lenyap atau berubah. Cinta autentik membuat kita makin yakin dan selalu terbuka untuk mengungkapkan semua pikiran dan perasaan tanpa ada beban sedikitpun.
Tentang penulis
Babra kamal lahir di Bone, 3 September 1985. bekerja freelance dan sekarang mengelola beberapa blog.
Tambahkan Komentar