Readtimes.id– Penangkapan seorang mahasiswa di Malang, Jawa Timur yang diduga sebagai pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) oleh Densus 88 baru-baru ini kembali mengingatkan publik bahwa kampus masih rentan akan praktik radikalisme dan terorisme.
Dalam sebuah kuliah umum di Universitas Bung Karno pada Selasa, (24/5) Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafli Amar mengungkap bahwa pihaknya memiliki data terkait dugaan kelompok radikalisme terorisme di kalangan mahasiswa hingga dosen di perguruan tinggi di Indonesia.
“Jadi mereka yang pernah teridentifikasi sebagai pihak yang terlibat itu (radikalisme) beragam latar belakang termasuk dari kalangan kampus juga ada. Kita punya data itu,” ungkap Boy Rafli kepada wartawan, Selasa (24/5).
Sebagai barometer pengetahuan dan moral publik di mana nalar kritis menjadi dasar segala macam pengambilan keputusan para warganya, mengapa kampus kita masih rentan terpapar paham terorisme dan radikalisme?
Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan mengungkapkan bahwa ini ada hubungannya dengan pemahaman agama mahasiswa yang formalis, terjebak pada hukum-hukum yang kaku dan terkesan eksklusif.
“Artinya semakin formalis mereka, maka kemungkinan terpapar itu akan sangat tinggi, ” ucap Halili saat dihubungi readtimes.id pada Rabu, (25/5).
Pihaknya juga menerangkan bahwa ada kecenderungan pemahaman agama semacam ini bahkan telah dibawa sejak para mahasiswa duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.
Dan menurut Halili, ini semakin mengkhawatirkan ketika mahasiswa ini akhirnya masuk dalam organisasi kemahasiswaan di mana pengaruh senior akan lebih kuat dari sisi emosional atau psikologinya ketimbang dosen di kelas.
Sehingga tidak heran jika pada akhirnya tidak sedikit pihak kampus yang tidak mengetahui bahwa mahasiswanya telah terpapar radikalisme yang berujung pada terorisme.
Ketika disinggung terkait kelompok-kelompok yang menjadi jalur masuk paham-paham radikal dan teror, menurut Halili di beberapa kampus yang pernah menjadi sampel risetnya ini cenderung dari organisasi mahasiswa.
“Dari organisasi mahasiswa, baik itu yang diakui secara resmi oleh kampus maupun tidak seperti misalnya perkumpulan-perkumpulan di Masjid itu, ” tambah Halili.
Dalam temuannya, ia juga mengungkap bahwa dari kelompok mahasiswa, jurusan eksakta adalah yang lebih rentan terpapar pemahaman radikal dan teror ketimbang sosial.
“Benar karena kalau anak eksakta jarang ada diskusi dan cenderung menerima, beda dengan anak sosial yang ketika mendapatkan doktrin misalnya mereka berdebat dulu. Dan itu akan sangat melelahkan, sehingga mereka jarang dijadikan target, ” ungkapnya.
Oleh karenanya untuk mencegah pemahaman radikal dan teror di kampus, menurut pihaknya
BNPT tidak cukup hanya dengan melakukan sosialisasi atau pendidikan di jalur-jalur formal seperti kampus, melainkan juga pendekatan informal kepada para tenaga pendidik di sekolah-sekolah juga orang tua. Karena, bagaimanapun mereka turut membentuk pemikiran para siswa sebelum akhirnya mereka mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Tambahkan Komentar