Readtimes.id– Ketidakpastian pandemi Covid-19 turut mempengaruhi setiap langkah kebijakan yang diambil pemerintah terkait pendidikan. Pertimbangan sekolah tatap muka lagi- lagi menjadi pilihan di tengah sejumlah persoalan yang muncul akibat pembelajaran jarak jauh ( PJJ) yang telah berlangsung satu tahun lamanya.
“Efek dari PJJ secara berkepanjangan itu bagi siswa adalah efek yang bisa sangat negatif dan permanen,” terang Mendikbud Nadiem Makarim dalam konferensi pers secara daring yang digelar Agustus lalu.
Beberapa efek negatif tersebut menurut Nadiem, diantaranya adalah, tingginya ancaman putus sekolah sebab PJJ dapat menimbulkan kemungkinan persepsi orang tua yang berubah terkait peran sekolah dalam proses pembelajaran, yang dirasa tidak optimal.
Kemudian, ancaman penurunan capaian pelajaran, meningkatnya angka kekerasan pada anak yang menyebabkan tingginya tingkat tekanan mental pada anak.
Belum lagi guru kesulitan mengelola PJJ dan cenderung fokus pada penuntasan kurikulum yang ada dan kesenjangan kualitas akses yang digunakan untuk PJJ secara daring.
Sejumlah alasan Ini yang kemudian mendasari diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri tentang diizinkannya pelaksanaan sekolah tatap muka terbatas.
Kebijakan yang pada prakteknya ramai-ramai ditolak sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi untuk Pendidikan dan Keselamatan Anak, karena tidak menjadikan cangkupan vaksinasi di lingkup peserta didik sebagai prasyarat dibukanya kembali sekolah tatap muka terbatas melainkan level PPKM yang berlaku di tiap daerah.
Seperti yang diketahui, dalam kebijakan kali ini pemerintah hanya mengizinkan daerah-daerah yang melaksanakan PPKM Level 1-3 untuk menyelenggarakan pembelajaran tatap muka, tanpa mempertimbangkan angka vaksinasi anak usia 12-17 yang baru mencapai 36 persen.
Menurut koalisi masyarakat sipil, kebijakan ini telah melanggar sejumlah ketentuan undang-undang dalam izin pembelajaran tatap muka. Antara lain, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 39/ 2009 tentang Kesehatan, hingga UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Selain itu aliansi sipil yang anggotanya terdiri dari Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI), Forum Orangtua Siswa, LaporCovid-19, Lokataru, dan beberapa organisasi lain juga menilai bahwa pemerintah telah mengabaikan rekomendasi WHO terkait pembelajaran tatap muka yang menganjurkan sekolah bisa dibuka kembali jika angka positivity rate telah mencapai lima persen.
Memerhatikan angka positivity rate pada anak yang masih mencapai 15 persen pada akhir Agustus 2021, membuat aliansi masyarakat sipil ini akhirnya melayangkan somasi terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim pada Jumat, (3/09/2021).
Dalam tuntutannya, mereka memberi waktu 14 hari kepada Jokowi dan Nadiem, antara lain untuk mempercepat vaksinasi kepada anak usia 12-17 tahun, dan membuka data positivity rate di setiap daerah.
Epidemiolog Universitas Hasanuddin, Ridwan Amiruddin kepada readtimes.id mengatakan bahwa meskipun kebijakan sekolah tatap muka kali ini berdasarkan level PPKM, namun seharusnya ini bisa menjadi momentum pemerintah meningkatkan cakupan vaksin bagi peserta didik. Ini penting karena positivity rate Indonesia untuk anak-anak masih tinggi.
Pihaknya juga mengungkapkan, selain meningkatkan cakupan vaksin, untuk menghindari terbentuknya klaster baru di tingkat sekolah. pemerintah bisa membuat langkah-langkah mitigasi.
Pertama, memastikan protokol kesehatan dasar seperti mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak itu tetap berjalan di tengah lingkungan sekolah, dan pemerintah perlu menjamin dan memantau ketersedian sarana dan prasarana kesehatan yang dibutuhkan.
Kedua, intensifikasi tracing dan dan testing harus tetap diperhatikan dan dilakukan berkala untuk memastikan kondisi warga sekolah tetap aman. Dan jika ada temuan kasus meskipun ringan gejalanya harus segera diadakan isolasi mandiri.
Sementara itu Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia periode 2016-2021, Muhammad Ramli Rahim, memandang sebelum dilakukan secara total di seluruh daerah, kebijakan sekolah tatap muka perlu terlebih dahulu memperhatikan hasil daerah -daerah yang lebih dulu menjadi tempat uji coba kebijakan tersebut, misalnya Jakarta.
Hal ini mengingat dibanding daerah lain, Jakarta adalah wilayah yang memiliki cakupan vaksinasi tinggi, update data 4 September saja untuk vaksin dosis pertama telah mencapai 110,3 persen sementara untuk vaksin dosis kedua adalah telah mencapai 69 persen, dimana sejumlah angka ini telah melampaui target vaksinasi yang diberlakukan untuk setiap daerah.
“Jadi katakanlah jika Jakarta sukses melakukan pembelajaran tatap muka, maka daerah lain bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh Jakarta,” pungkasnya.
1 Komentar