RT - readtimes.id

Tolak Pemilu 2024, Ini Kata Anggota Komisi II DPR-RI

Readtimes.id– Episode pembahasan RUU Pemilu di tubuh DPR kembali berlanjut. Terutama soal pengaturan kembali jadwal pelaksanaan Pilkada yang menurut UU Nomor 10 Tahun 2016 akan digelar pada tahun 2024 dimana bertepatan dengan Pilpres dan Pileg.

Seperti yang diketahui dalam proses pembahasannya mencuat dua opsi dari DPR yaitu Pilkada serentak akan digelar pada tahun 2027 tiga tahu setelah Pemilu 2024, dan yang kedua adalah Pilkada serentak tetapi mengikuti siklus 5 tahunan seperti yang ada sekarang.

Perlahan namun pasti sinyal untuk memilih berbagai opsi yang yang mencuat di publik tersebut mulai dapat terbaca. Banyak pihak yang kemudian menyarankan agar pada intinya penyelenggaraan pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2024 sebaiknya dipisahkan dari Pilpres dan Pileg karena alasan teknis juga kualitas pesta demokrasi yang dihasilkan.

Tak hanya dari pakar atau kelompok masyarakat sipil, penolakan terhadap pagelaran pesta demokrasi serentak pada tahun 2024 juga menuai catatan dan perhatian serius dari Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Demokrat yakni Anwar Hafid. Pihaknya mengungkapkan setidaknya ada 3 alasan mengapa dirinya kemudian memilih untuk menolak pagelaran Pilkada serentak pada 2024 itu.

” Ada 3 alasan mengapa kemudian saya menolak pelaksanaan pemilu serentak 2024 ini. Pertama, bagi saya dalam bernegara asas kemanusian adalah hal yang sangat penting bagi pertimbangan dalam mengambil keputusan” ujarnya saat dihubungi oleh Readtimes.id

Hal ini tak luput menjadi perhatiannya karena belajar dari fenomena pemilu serentak pada tahun 2019 dimana ada 5.175 petugas penyelenggara pemilu yang sakit, bahkan 894 diantaranya meninggal karena faktor kelelahan akibat proses pemilu Nasional serentak dengan 5 kertas suara yakni Calon Presiden, Calon DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten kota dan DPD

Selanjutnya alasan yang kedua menurut Anwar Hafid penggabungan pemilu dalam satu waktu itu akan membuat pemilih bingung dalam mengenali gagasan para kandidat yang maju dalam bursa pemilihan.

” Jangankan mau menggabungkan semuanya, pada konteks pilkada yang lebih sederhana saja yakni pemilihan kepala daerah, seperti antara memilih bupati dan gubernur tidak jarang pemilih mengalami kebingungan pada saat di bilik suara antara kertas suara calon bupati dan calon gubernur. Bayangkan saja jika semuanya digabungkan dengan pilpres dan pileg sudah jelas akan semakin kacau ” tambahnya

Lebih jauh pihaknya juga menilai bahwa jadwal pelaksanaan pesta demokrasi serentak yang dipaksakan sejatinya akan sangat mempengaruhi kualitas demokrasi kita. Karena kita hanya menghadirkan partisipasi tanpa esensi yakni para calon yang secara esensial dimengerti gagasan, program mereka kepada pemilih secara langsung.

Selanjutnya yang ketiga , konsekuensi dari wacana akan menyatukan pemilu lokal pada tahun 2022, 2023 dan menariknya mundur disatukan pada tahun 2024 akan menimbulkan kekosongan jabatan kepala daerah yang terlalu lama yang akan berdampak pada instabilitas pemerintahan, sosial dan politik.

” Sebagai mantan bupati, saya cukup paham bagaimana kondisi daerah yang dipimpin oleh pejabat pelaksana ataupun pelaksana tugas yang ditarik dari kalangan birokrasi. Instabilitas pemerintahan, sosial dan politik itu akan terjadi karena rendahnya kewenangan dan kepercayaan di mata publik ” ujar mantan Bupati Morowali, Sulawesi Tengah tersebut

Menurutnya hal ini terjadi karena para PJ dan PLT ini sejatinya tidak lahir dari proses pemilu yang dipilih oleh rakyat secara luas. Ditambah lagi dalam aturan mereka tidak dapat mengambil keputusan yang sifatnya fundamental dan strategis untuk daerah yang dipimpinnya jelas ini akan menghambat pencapaian sebuah daerah dalam mencapai rencana pembangunan yang telah disusunnya.

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: