“Setahu saya kalau Rektor Unhas sudah jadi tradisinya menjelang akhir periode diangkat komisaris. Tidak hanya Rektor, Dekan juga ada yang begitu. Istilahnya itu jabatan pesangon, seperti buruh yang di-PHK, ” terang dosen Unhas Rhiza S .Sadjad menanggapi isu rangkap jabatan rektor Unhas.
Seperti diketahui, saat ini Rektor Unhas Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu MA tengah menjabat komisaris independen PT Vale Indonesia. Jabatan itu diterimanya sejak september 2020, saat rapat rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) perusahaan di Jakarta.
Menyisakan pertanyaan karena dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2015 tentang Statuta Universitas Hasanuddin, pada dasarnya tidak memperkenankan rektor merangkap jabatan pada badan usaha, baik di dalam Unhas maupun di luar Unhas seperti yang tertuang pada pasal 27 ayat 4.
Mengutip pernyataan Humas Universitas Hasanuddin di berbagai media mengatakan, rektor tidak melanggar peraturan karena posisinya hanya sebagai komisaris di mana tidak melakukan fungsi eksekutif.
Selain itu keputusan untuk menerima jabatan sebagai Komisaris Independen sebelumnya telah diketahui oleh Majelis Wali Amanat (MWA) universitas.
Kendati demikian hingga pemberitaan ini diturunkan, pihak Majelis Wali Amanat melalui Profesor Indrianty Sudirman selaku Sekretaris Eksekutif MWA enggan memberikan tanggapan.
Bukan Kali Pertama di Kampus Merah
Bagai sebuah tradisi turun temurun, jabatan komisaris yang diemban rektor Unhas nyatanya tidak hanya terjadi sekali. Sebelumnya, tahun 2012 Prof Idrus Paturusi, rektor Unhas periode 2006- 2014, juga pernah menjabat sebagai komisaris di perusahaan yang sama.
Adapun hal yang membedakan saat itu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2015 tentang Statuta Universitas Hasanuddin belum diterbitkan.
“Kalau Unhas sebenarnya sudah sejak dulu, sebagai penghargaan sejak zaman Prof Idrus. Tapi saat itu belum ada larangan karena belum PTN-BH,” terang Muhammad Ramli Rahim, alumni Universitas Hasanuddin pada readtimes.id
Lebih dari itu mantan Ketua Ikatan Guru Indonesia ini juga mengatakan bahwa pada dasarnya pengangkatan rektor sebagai komisaris di Unhas itu tidak memiliki motif tertentu karena perusahaan yang dipimpin bukan Badan Usaha Milik Negara seperti yang dijabat rektor Universitas Indonesia.
Baca Juga : Heboh Lip Service, Rektor UI Rangkap Wakil Komisaris
Kendati demikian pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dalam sebuah diskusi virtual yang diselenggarakan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa mengatakan bahwa bunyi pasal dalam statuta Unhas yang melarang rektor rangkap jabatan itu pada dasarnya juga sudah cukup jelas.
Ia juga menerangkan bahwa yang dimaksud badan-badan usaha yang yang disebutkan dalam norma itu adalah usaha yang berbadan hukum seperti perseroan dan yang usaha tidak berbadan hukum.
“Badan usaha di dalam Unhas pun Rektor tidak boleh melakukan rangkap jabatan, maupun badan usaha di luar Unhas. Jadi ini sudah jelas interpretasinya, Rektor Unhas sesuai dengan norma yang ada dalam statuta Unhas, dilarang merangkap jabatan,” terangnya.
Lebih dari itu dalam bagian penjelasan pasal 27 ayat 4 ini juga menyebutkan “cukup jelas”, di mana ini bermakna bahwa pembentuk undang-undang menganggap rumusan norma dalam batang tubuh tidak perlu diperjelas lagi, karena sudah jelas.
Secara terpisah Muhammad Kaisar Januardi Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik Unhas memandang bahwa terlepas dari perdebatan statuta yang hingga saat ini bisa diinterpretasikan beragam, yang tidak kalah penting adalah memastikan bahwa status rangkap jabatan rektor tidak menciptakan sebuah konflik kepentingan sekalipun dalam hal ini tidak bertindak sebagai eksekutor.
“Sebagai perguruan tinggi yang dapat diakses oleh publik, tentu wajar jika Unhas kemudian dituntut untuk dapat memberikan jaminan dan kepastian bagi publik bahwa keputusannya untuk memperbolehkan rektor menjabat di tempat lain itu tidak akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan Unhas ,” tuturnya.
Menurutnya, MWA selaku pihak yang berwenang memberikan pertimbangan pelaksanaan kebijakan umum dan melaksanakan pengawasan di bidang non akademik harus transparan dalam mensosialisasikan setiap kebijakan. Termasuk peraturan terkait kode etik yang harus dimiliki rektor ketika menjabat di luar kampus.
Selain itu Kaisar juga menyesalkan terkait bungkamnya MWA ketika publik membutuhkan penjelasan atas pertimbangan diizinkannya rektor menjabat di luar kampus sehingga akhirnya menimbulkan kegaduhan yang tidak berujung.
“Ini penting menurut saya untuk memberikan semacam kepastian bagi publik terlepas dari kemudian mematahkan argumentasi bahwa jabatan komisaris itu pesangon di penghujung jabatan, ” tutupnya.
1 Komentar