Resensi ; Dedy Ahmad Hermansyah.
Judul : Tragedi di Halaman Belakang
Penulis : Eko Rusdianto
Penerbit : EA Books
Tahun Terbit : Oktober 2020
Tebal : xii + 192 hlm
Salah satu narasi besar tentang sejarah orang Sulawesi di masa sebelum Indonesia adalah bahwa mereka orang laut yang biasa mengembara menyusuri samudera, menjadi perompak, dan membangun perkampungan sendiri hingga ke Afrika. Kesan pemberani sekaligus kontroversial melingkupi sejarah mereka. Namun, narasi-narasi kecil tentang “pengembaraan” orang Sulawesi masa Indonesia justru diwarnai tragedi—perang saudara, konflik sosial-politik, dan diskriminasi.
Narasi-narasi kecil itulah yang dihamparkan Eko Rusdianto di dalam hampir keseluruhan dari 21 tulisan yang terangkum dalam bukunya teranyar, “Tragedi di Halaman Belakang, Kisah Orang-Orang Biasa dalam Sejarah Kekerasan Sulawesi”. Mereka yang pergi dari kampung halaman, di dalam tulisan-tulisan Eko, adalah mereka yang menjadi korban konflik sosial dan politik, diskriminasi masyarakat, hingga pengusiran secara struktural dari tanah leluhur.
Bacalah tulisannya “Orang-Orang Poso” yang berkisah tentang konflik Poso yang melibatkan warga muslim dan kristiani. Simaklah memori seorang warga yang tanah leluhurnya disulap menjadi lapangan golf di area PT Vale, perusahaan besar di Sorowako, dalam “Tersingkir di Tanah Leluhur”. Ikuti pula kisah tahanan politik dalam “Tapol 65 yang Bertahan dari Kamp Moncongloe”. Selami juga kisah pilu transgender yang memilih pergi ke Ibukota dalam “Selamat Datang Kembali, Hae”. Atau cerita luka dan trauma mereka yang menjadi korban peristiwa pemberontakan DII/TII—bissu dan umat kristiani—yang tersebar dalam beberapa tulisan.
Semuanya menyajikan ke hadapan kita refleksi tentang konflik, perang, dan diskriminasi yang justru mendatangkan luka belaka pada para korban. Di sana nyaris tak kita temukan kebaikan dari peristiwa-peristiwa tragis terhadap warga selain memori kolektif yang dipenuhi pengalaman menyedihkan.
Dan ironisnya, negara atau pemerintah, entitas yang seharusnya mengayomi dan melindungi, tidak hadir di sana. Malah, di beberapa kasus yang ditulis Eko, pemerintah malah jadi salah satu pelaku yang berperan menyingkirkan warganya sendiri. Simak saja pernyataan pihak pemerintah kecamatan dalam kasus proyek PT Inco yang memihak perusahaan. “Lebih baik kami kehilangan masyarakat daripada kehilangan perusahaan.” (hlm 126).
Negara atau pemerintah yang keberadaannya terletak persis di halaman depan, dalam tulisan-tulisan Eko, benar-benar mengabaikan warganya yang berada di halaman belakang. Ironis!
Eko terus menjelajahi area halaman belakang itu. Sejatinya, ia tak hanya memotret kisah tentang ketersingkiran orang-orang di halaman belakang tersebut. Namun, Eko mengelaborasi pula kisah ketersingkiran orang-orang di sudut lain dunia yang lantas terdampar atau bermigrasi ke tanah Sulawesi. Eko menulis tentang imigran Rohingya dan anak-anak curian dari Timor Leste.
Selain itu, ada kisah solidaritas antar warga berikut cara mereka melawan trauma konflik dengan menertawainya, menjadikannya sebagai humor. Atau Eko tak lupa mengudar kisah jenaka perantau Sulawesi yang mengabadikan peristiwa-peristiwa bersejarah dalam perantauan ke dalam tato di tubuh sendiri. Tradisi atau ritual maupun kebiasaan warga Toraja dalam adu ayam dan minum ballo turut diulik dengan dalam. Bahkan kisah mengharukan seputar dunia kaum difabel dan remaja yang terlibat pernikahan dini turut digali oleh Eko.
Kita akan mudah masuk dan menyelam ke dalam lautan kisah yang dituang Eko sebab ia menuliskannya dengan narasi sastrawi dan keterlibatan emosi serta keberpihakannya yang kentara namun lembut.
Pada dasarnya, tulisan Eko adalah reportase. Namun karena ditulis dalam format jurnalisme sastrawi, ada ruang buat Eko sedikit menghadirkan dirinya dan perasaannya. Tulisannya juga menjadi reflektif dan analitik karena turut dikemas dengan referensi-referensi ilmiah yang menjadi jembatan penghubung antara peristiwa faktual yang ia tulis dengan wacana akademis.
Dalam kata pengantar Eko menulis, tulisan-tulisannya dipandang oleh teman-temannya hanya cocok jadi bacaan akhir pekan yang cepat berlalu dan menguap lantas menghilang. Itu keliru, setidaknya menurut saya. Ia memang cocok jadi bacaan akhir pekan, namun kisah yang ia tulis akan masuk dan bersemayam ke dalam laci kepala—sebagai penjaga kewarasan dan penjaga memori historis tentang orang-orang biasa yang tersingkir dari tanah sendiri.
Dedy Ahmad Hermansyah. Peneliti lepas dan pustakawan di Komunitas Teman Baca, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
10 Komentar