Readtimes.id– Kondisi seseorang yang masih fit atau sehat, sering merasa masih ragu dengan vaksin, antara halal dan haram, dan juga antara aman dan tidaknya, juga disebabkan banyaknya kasus yang meninggal setelah divaksin.
Fenomena “kematian” pascavaksinasi itu “diluruskan” oleh seorang vaksinolog yang sekaligus dokter spesialis penyakit dalam, Dirga Sakti Rambe, dalam Diskusi LKBN ANTARA bertopik “Kupas tuntas Vaksin COVID-19” yang berlangsung secara virtual dari Jakarta pada 29 Juli 2021.
“Tidak ada vaksinasi yang menyebabkan kematian, karena fungsi vaksin justru untuk menumbuhkan kekebalan terhadap COVID-19 atau mencegah seseorang terpapar COVID-19. Tidak ada orang yang meninggal karena vaksinasi, karena orang yang meninggal setelah divaksin itu selalu dilaporkan ke Satgas COVID-19 untuk diteliti, ternyata hasil penelitian kasusnya menyimpulkan penyebab kematian umumnya bukan vaksinasi,” katanya.
Menjawab pertanyaan dalam diskusi itu, ia menjelaskan penyebab kematian seseorang pascavaksinasi itu bukan disebabkan vaksin, melainkan dia sudah terpapar COVID-19 sebelum divaksinasi, namun tidak terlihat, karena dia mengalami OTG (orang tanpa gejala) dengan masa inkubasi 2-14 hari.
“Jadi, orang itu sudah terpapar COVID-19 duluan, tapi karena OTG, maka gejala COVID-19 itu tidak terlihat, maka dia merasa aman, lalu mengikuti vaksinasi dan setelah beberapa hari meninggal dunia. Ada juga yang meninggal pascavaksinasi karena kormobid penyakit lain, bukan disebabkan COVID-19,” katanya.
Menurut dia, vaksinasi itu merupakan “pertahanan” dari paparan virus/penyakit, karena vaksin merupakan zat yang menghasilkan kekebalan terhadap penyakit.
Hal itu mirip protokol kesehatan, seperti masker, jaga jarak dalam kerumunan, dan mencuci tangan dengan sabun yang merupakan “ikhtiar lain” untuk mencegah (“bertahan”) dari paparan COVID-19.
“Jadi, cara kerja vaksin itu membentuk kekebalan dalam diri seseorang bila ada penyakit. Vaksinasi itu juga sudah berlangsung puluhan dan bahkan ratusan tahun, seperti vaksin untuk cacar, hepatitis, campak, meningitis, dan sebagainya. Hasilnya, hampir 100 persen atau mayoritas orang aman setelah vaksinasi, hingga ditemukan obat,” katanya.
Kaitan kematian dengan vaksinasi bisa dicek pada data Satgas COVID-19 Pemprov Bali pada 23 Mei hingga 4 Agustus 2021 yang mencatat 834 kematian yang meliputi 47 kematian terkait Vaksin Sinovac, 43 kematian terkait Vaksin AstraZeneca, dan 744 kematian tanpa/belum vaksin (Bali Post, 5 Agustus 2021).
Data itu menunjukkan 10,7 persen kematian yang bisa dikaitkan dengan vaksinasi tetapi 89,3 persen kematian justru terjadi karena belum vaksinasi.
Artinya, dampak vaksinasi masih dapat dikendalikan dibandingkan dengan tanpa vaksinasi, apalagi sejak akhir Juni 2021 ada varian baru COVID-19 yang mampu menyebar dengan sangat cepat dan dengan tingkat penularan cukup masif disertai dengan tingkat kematian yang sangat tinggi hingga 5-6 kali lipat dari penularan sebelumnya, apalagi data kematian yang ada itu juga sebagian besar sudah ada varian baru.
Untuk mengatasi keraguan, saat vaksinasi COVID-19 akan didahului dengan “skrining” atau pengujian yang ditandai dengan “wawancara” tertulis atau lisan serta pemeriksaan tensi darah, sehingga jawaban yang jujur dari peserta vaksinasi akan menentukan “pengendalian” dampak/efek vaksinasi itu sendiri. Misalnya, bila tensi darah cukup tinggi, maka solusinya adalah penundaan waktu vaksinasi hingga stabil.
Halal-Haram
Namun, karena ada yang menyatakan haram dan ada juga yang menyatakan halal, sehingga dia memiliki kesan bahwa vaksin adalah “subhat” (di antara halal-haram) yang sebisa mungkin dihindari.
Pertanyaan itu agaknya juga sudah terjawab oleh ulama muda K.H. Ma’ruf Khozin yang merupakan Direktur “Aswaja Centre” PWNU Jatim dan Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim dalam tulisan kolomnya bertajuk “Disuntik Vaksin Babi?” (Radar96.com, 24 Maret 2021).
Ketika divaksin dengan suntikan yang dicurigai mengandung babi adalah suntikan vaksin yang diambilkan dari dagingnya, darahnya, kulitnya, atau organ tubuh yang lain.
“Maha benar Allah dalam Quran Surah An-Nahl ayat 43 yang memerintahkan untuk merujuk kepada ahlinya, bahkan juga perintah klarifikasi (QS Al-Hujurat ayat 6),” katanya.
Dari penjelasan ahlinya itu, ternyata vaksin dari Tripsin Pangkreas Babi adalah dengan cara mengambil dari pangkreas babi atau dari bagian protein di pangkreas itu diambil yang namanya Tripsin, kemudian dihancurkan. Bentuk Tripsin itu kecil dan tak kasat mata, serta dihancurkan.
Dari kaca mata Fikih, sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata (hancur), maka sudah dimaklumi hukumnya yakni pengecualian. Pengecualiannya adalah najis yang tidak terlihat, maka tidak pengaruh (Ianah Ath-Thalibin 1/43).
“Apakah Tripsin ini yang disuntikkan ke dalam tubuh manusia? Ternyata, bukan. Sekali lagi bukan. Tripsin ini untuk melepaskan inangnya karena menempel di pelat padat. Setelah itu, dalam waktu kurang lima menit, Tripsin harus dibersihkan dari inangnya agar inang ini tidak mati,” katanya.
Selanjutnya, inang yang sudah terpisah dari Tripsin itu pun diisi kode genetik atau resep membuat virus. Di dalam inang tersebut tumbuh virus. Jumlahnya juga sedikit, cuma 10 mililiter, atau beberapa tetes dari air gelas mineral yang berisi 240 mililiter itu.
Inilah yang dibuat oleh Oxford, dibeli oleh banyak perusahaan, di antaranya AstraZeneca, lalu dikembangkan dalam penampungan besar seukuran ribuan liter, sehingga penghukuman secara Fikih juga sangat maklum.
Dari Abu Umamah Al-Bahili bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya air tidak najis kecuali bila berubah baunya, rasanya dan warnanya”. (HR Ibnu Majah).
Akhirnya, virus dipanen dan dimurnikan dan dicampur dengan air lagi dalam jumlah yang besar dan bahan untuk siap disuntikkan. Semua proses produksi di atas hanya menggunakan unsur nonhewani atau dalam artian tidak ada unsur babi dalam bentuk fisik. Nah, vaksin dengan proses itulah yang siap disuntikkan.
Seperti halnya vaksin Meningitis. Saat anda mau umrah dan haji ke Arab Saudi perlu vaksin Meningitis sebagai syarat.
“Kalau suntik vaksin Meningitis mau, tapi giliran AstraZeneca tiba-tiba tidak mau? Padahal, Arab Saudi juga mengharuskan vaksin virus COVID-19 bila ada yang mau ke Arab Saudi,” katanya.
Informasi dari sumber lalu menyebutkan pada 1918 terjadi Flu Spanyol yang mematikan dengan korban meninggal dunia mencapai 5-10 kali lipat daripada COVID-19, namun saat itu belum ada media sosial (medsos), sehingga relatif aman dari kegaduhan yang tidak perlu.
Penjelasan ahli vaksin (vaksinolog) dan ahli agama (fikih) terkait dengan vaksinasi itu menjadi “kata kunci” bagi mereka yang masih ragu dalam setiap masalah, termasuk vaksin atau vaksinasi.
Ya, “bertanya kepada ahlinya” itu agar tidak terjadi salah informasi atau salah paham. Apalagi kesalahan dalam masalah agama bisa berakibat fatal dan berdampak teologis hingga akhirat.
Namun, ajakan untuk “bertanya kepada ahlinya” yang juga diajarkan Islam itu bukan perkara mudah di era medsos, karena medsos cenderung bukan melakukan kritik, namun cenderung melakukan cacian, apalagi kelemahan orang Indonesia adalah soal SARA, sehingga kritik sering melenceng ke cacian akibat soal SARA itu. Kritik itu terkait kebijakan/keputusan yang merugikan/menguntungkan publik, bukan personal seperti cacian yang tidak ada kaitan dengan publik sama sekali.
Ya, akhir-akhir ini, tantangan vaksinasi bukan sekadar soal teknis, tapi sudah masuk ranah SARA (suku/etnik, agama/teologi, ras/pribumi-nopri, antargolongan/strata) yang cukup marak dan bisa sangat gaduh, seperti vaksin babi (agama), penutupan masjid (agama), China (ras/non-pribumi), Madura (etnik), bisnis/jual beli vaksin (strata/kaya-miskin), dan seterusnya.
Bahkan, ada bumbu “politis” dengan membidik pemerintah sebagai “pihak salah”. Akhirnya, “bumbu” politis yang bercampur dengan SARA itu dimainkan lewat medsos hingga mirip orang jatuh cinta atau orang benci (tidak pakai logika!). Bukan berarti kritik itu tidak boleh, namun kritik itu menyangkut kepentingan publik, bukan personal atau kepentingan bukan publik.
Apalagi, selain “bertanya kepada ahlinya”, Islam juga mengajarkan pentingnya ikhtiar dan pentingnya bersikap “bicara positif atau diam” (“Barangsiapa percaya kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam” – Hadits Riwayat Bukhari-Muslim).
Tentang pentingnya ikhtiar itu antara lain ada dalam kisah Nabi Musa saat berdialog dengan Tuhan. Nabi Musa bertanya tentang obat sakit gigi, lalu dijawab Allah untuk memanfaatkan rumput sebagai obat dan sembuh. Suatu saat, Nabi Musa sakit gigi lagi dan mengobati sendiri dengan rumput tapi sakitnya tidak sembuh, bahkan lebih parah. Nabi Musa pun bertanya kepada Allah yang dijawab bahwa ikhtiar itu tetap ikhtiar, tapi Allah-lah yang menyembuhkan, bukan rumput. Jadi, vaksin atau obat COVID-19 pun sebatas ikhtiar dan Allah-lah Yang Maha Kuasa dan Maha Menyembuhkan.
Dalam kaitan ikhtiar itu pula, Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk “bicara baik/positif atau diam” dalam menilai sesuatu. Bicara/menilai negatif itu bila benar berarti fitnah dan bila salah berarti gibah/menggunjing/cacian. Fitnah dan gibah itu sama-sama tidak dapat dibenarkan, karena fitnah itu lebih kejam daripada membunuh (al-fitnatu asyaddu minal qatl), sedangkan gibah itu setara dengan memakan bangkai saudara sendiri. Orang dibunuh, selesai ketika selesai pembunuhan. Tapi fitnah akan selalu terus bertebaran, apalagi ada medsos, maka diam itu lebih baik.
Dalam Ngaji Virtual Milenial bertema “Menyikapi Carut Marut Infodemik saat Pandemi” (Fanspage Facebook NU Online Jatim, 30/7/2021), pengasuh Pesantren Al-Mahrusiyah Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, K.H. Reza Ahmad Zahid (Gus Reza), mempunyai tiga resep untuk menghindari “jebakan” berita bohong (hoaks), terutama infodemik (hoaks terkait pandemi), yaitu “3-T” yang meliputi tabayyun, tawaqquf dan tajannubudzdzan. Hoaks diera Nabi Adam berisiko keluar dari Surga.
“Pertama, tabayyun (klarifikasi),” kata alumnus al-Ahgaff University Hadramaut Yaman tersebut.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 6 yang terjemahannya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu”.
Kedua, tawaqquf, yakni sikap atau perbuatan untuk menahan diri dan tidak langsung mempercayai kabar yang kita terima. Tidak langsung kemudian digeneralisasi dari berita yang kita temukan.
Allah SWT berfirman dalam Al Quran Surat Al-Isra’ ayat 36 yang terjemahnya, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban”.
Tawaqquf di sini juga bisa berarti menahan diri dengan bertanya kepada ahlinya. Dalam satu makalahnya, Imam al-Ghazali mengatakan, “lau sakata man laa yadri laqallal khilaf baynal khalqi. (Ketika orang-orang yang tidak tahu atau tidak memiliki ilmu itu diam saja, tidak banyak bicara, dan berkomentar, niscaya pertikaian dan perbedaan pendapat di antara manusia akan terminimalisasi)”.
“Karut-marut permasalahan yang kita rasakan saat ini, termasuk faktornya adalah mereka orang-orang yang tidak tahu tentang duduk permasalahan, ikut menge-‘share’ (membagikan), mereka ikut berkomentar, sehingga mereka menjadi komentator-komentator yang ‘zonk’ tentang pengetahuan. ‘Na’udzubillahi min dzalik’,” ujar cucu K.H. Mahrus Aly ini.
Ketiga, tajannubudzdzan (menjauhi asumsi atau prasangka). Tajannubudzdzan di sini juga bisa berarti menahan diri dengan diam atau menjauhi prasangka/negatif.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Hujurat ayat 12. “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang”.
Tambahkan Komentar