RT - readtimes.id

Wasit Bermasalah, Pertandingan Diulang: Ironi PSU dalam Demokrasi Elektoral

Oleh: Tengku Imam Syarifuddin*

Dalam sistem demokrasi elektoral, integritas penyelenggara pemilu adalah fondasi kepercayaan publik terhadap proses politik. Tanpa integritas dan akuntabilitas penyelenggara, pemilu kehilangan makna sebagai instrumen demokrasi yang adil dan setara. Namun, ironi muncul ketika pelanggaran administratif serius yang memengaruhi hasil pemilu justru tidak disertai sanksi tegas bagi penyelenggara yang lalai atau berpihak. Sebaliknya, mereka tetap diberi mandat untuk melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU). Ini bukan sekadar kelalaian hukum, melainkan bentuk kekeliruan logika kelembagaan—di mana
lembaga yang lalai atau tidak independen justru tetap dipercaya sebagai wasit dalam pertandingan yang sama.

Fenomena ini mengingatkan kita pada kritik Hannah Arendt bahwa “the most radical revolutionary will become a conservative the day after the revolution”—ketika lembaga yang lahir dari semangat demokrasi, seperti KPU dan Bawaslu, justru abai terhadap dimensi etik dan menjadi bagian dari masalah. Padahal demokrasi tidak cukup hanya memastikan prosedur dipatuhi, tetapi juga harus membangun legitimasi moral di setiap langkahnya. Seperti dikatakan Immanuel Kant, “Act only according to that maxim where by you can at the same time will that it should become a universal law.” Jika etika penyelenggara diabaikan, pemilu hanya menjadi ritual kosong tanpa substansi keadilan. Jadi, persoalan utamanya bukan sekadar keabsahan hasil, melainkan apakah kita masih menghargai cita-cita luhur di balik setiap suara rakyat?

Satu diantara kegagalan sistem ini contohnya terjadi pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Mahkamah Konstitusi memerintahkan PSU akibat pelanggaran administratif serius oleh salah satu pasangan calon yang memengaruhi hasil pemilu. Meski MK menyatakan pemilu sebelumnya tidak sah secara hukum, penyelenggara tetap tidak menerima sanksi, teguran, atau evaluasi berarti. Ironisnya, mereka justru kembali dipercaya menyelenggarakan PSU.

Menurut penulis, situasi ini mencerminkan kegagalan dalam menerapkan prinsip akuntabilitas institusional. Konstitusi menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang mengharuskan setiap kekuasaan publik bertanggung jawab secara hukum dan moral. Jika KPU atau Bawaslu terbukti lalai atau melakukan pelanggaran yang memengaruhi hasil pemilu, seharusnya ada mekanisme hukum yang memungkinkan evaluasi, bahkan pemberhentian penyelenggara.

Persoalan berikutnya adalah regulasi pemilu saat ini tidak mengatur hubungan langsung antara putusan MK dan evaluasi terhadap penyelenggara di daerah. MK hanya berwenang memutus sengketa hasil pemilu, bukan menilai integritas penyelenggaranya. Padahal, perintah PSU dari MK secara implisit mengindikasikan bahwa proses sebelumnya cacat. Namun, tidak ada ketentuan dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada yang mewajibkan evaluasi atau pembentukan panitia independen saat PSU dilaksanakan. Akibatnya, publik dipaksa percaya bahwa PSU akan berjalan adil, meski tetap dikawal oleh penyelenggara yang sebelumnya terbukti tidak netral.

Apa dampaknya?

Dari segi politik elektoral, hal ini memiliki dua dampak serius. Pertama, terjadi kekurangan
kepercayaan terhadap proses pemilu. Ketika masyarakat melihat bahwa tidak ada konsekuensi bagi pelanggaran penyelenggara, mereka menjadi apatis dan pesimis
terhadap hasil pemilu, termasuk PSU.

Kedua, munculnya potensi konflik horizontal akibat kecurigaan politik yang tinggi. PSU seharusnya menjadi sarana pemulihan keadilan elektoral, namun jika penyelenggaranya tidak berubah, PSU justru bisa menjadi sumber ketegangan baru.

Oleh karena itu, PSU seharusnya tidak hanya menjadi proses teknis mengulang pemilu, tetapi juga harus diikuti dengan reformasi kelembagaan yang menyeluruh. Idealnya, putusan MK mengenai pelanggaran administratif serius harus menjadi pemicu evaluasi etik oleh DKPP dan audit tata kelola oleh Ombudsman.

DKPP memiliki wewenang untuk memeriksa integritas dan netralitas penyelenggara pemilu, sementara Ombudsman dapat menilai apakah terjadi maladministrasi dalam proses penyelenggaraan sebelumnya. Jika terdapat indikasi bahwa KPU atau Bawaslu daerah tidak
profesional atau tidak netral, KPU RI dan Bawaslu RI seharusnya menunjuk pelaksana tugas dari tingkat provinsi atau nasional untuk mengambil alih proses PSU.

Permasalahan ini bukan hanya tentang prosedur hukum, tetapi juga tentang esensi demokrasi. Demokrasi bukan hanya tentang hasil akhir, tetapi juga tentang prosesnya. Demokrasi
membutuhkan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Jika penyelenggara pemilu
yang gagal tetap diberi mandat untuk menyelenggarakan PSU, maka bukan demokrasi
yang terjadi, melainkan legalisasi pelanggaran hukum.

Meskipun PSU di Kutai Kartanegara telah menghasilkan pemenang yang sah, peristiwa ini tidak bisa dianggap selesai hanya karena tahapan prosedural telah dilalui. Aspek-aspek yang tidak berjalan semestinya harus menjadi catatan kritis bagi perbaikan penyelenggaraan pemilu ke depan. Demokrasi yang sehat tidak hanya ditopang oleh hasil akhir, tetapi juga oleh komitmen terhadap integritas, tanggung jawab, dan etika kelembagaan.

PSU seharusnya menjadi langkah korektif, bukan sekadar pengulangan administratif. Harapannya, peristiwa ini mendorong restrukturisasi menyeluruh terhadap sistem evaluasi penyelenggara pemilu, agar kejadian serupa tidak terulang. Sebab pada akhirnya, suara rakyat bukan hanya perlu dihitung secara akurat, tetapi juga dihormati melalui proses yang adil.

*Penulis adalah Peneliti Independen/Masyarakat Sipil

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: