Readtimes.id– Pasca pertarungan pilpres 2014, nama Jokowi dan Prabowo tak pernah lepas dari perhatian publik. Bahkan semakin menjadi sorotan ketika istilah kampret dan cebong menghinggapi setiap percakapan ruang maya warganet Indonesia.
Bak residu yang sangat sulit diuraikan, polarisasi politik itu bahkan tak hanya bertahan saat pilpres, tetapi hingga kontestasi berakhir di mana Jokowi keluar sebagai pemenang.
Seolah khawatir dan ingin mencegah polarisasi tersebut hadir kembali, para penggagas Seknas Jok-Pro yang digawangi M Qodari dkk, justru mewacanakan akan memasangkan keduanya dalam pilpres yang akan berlangsung 3 tahun ke depan itu. Meskipun secara konstitusi tidak sah, karena menurut aturan Jokowi tak lagi dapat mencalonkan diri kembali.
Pertanyaanya kemudian, benarkah dengan memasangkan keduanya dapat menghindari polarisasi di Pilpres mendatang. Dan mengapa persoalan pilpres seolah Indonesia harus menyerahkan diri pada Jokowi dan Prabowo, dan tak memungkinkan adanya alternatif capres lain.
Baca juga : Jok-Pro; Presiden Tiga Periode, Mungkinkah ?
Menurut pakar politik Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto, terlepas dari wacana Jok-Pro itu hanya sebuah dagelan politik, pada dasarnya justru semakin membuka lebar jurang polarisasi yang ada dengan menciptakan arena bagi aktor baru.
“Ini justru membuka perang baru, karena dengan gerakan ini karakter utama yang akan dimunculkan sebenarnya akan mengancam posisi Prabowo yang dalam wacana ini telah dikukuhkan sebagai orang kedua, bukan orang pertama,” terangnya pada readtimes.id.
Dengan digulirkannya wacana ini, juga menunjukkan bahwa sejatinya hingga hari ini belum ada calon lain yang mampu menandingi posisi keduanya. Terutama Prabowo, menurut konstitusi masih diperbolehkan mencalonkan diri kembali pada 2024.
Hal ini dapat dilihat dari hasil survei terakhir yang disampaikan Saidiman Ahmad, Manajer Program SMRC, dalam rilis bertajuk “Partai Politik dan Calon Presiden: Sikap Pemilih Dua Tahun pasca Pemilu 2019” menyebutkan bila pemilihan presiden dilakukan saat ini, suara terbesar akan diperoleh Prabowo Subianto.
Menurut Saidiman, dalam survei ini, SMRC meminta responden menentukan nama presiden yang akan dipilih dengan empat simulasi daftar nama capres: dengan 42 pilihan nama, 15 nama, 8 nama, dan 3 nama. Di semua simulasi, nama Prabowo berada di urutan teratas, diikuti Ganjar dan Anies.
Namun di antara ketiga tokoh tersebut, nama yang paling menunjukkan peningkatan dukungan dari waktu ke waktu justru Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Ini terutama terlihat pada simulasi dengan 42 nama. Bila dibandingkan antara survei Maret 2020 dan Mei 2021, hanya Ganjar yang mengalami kemajuan signifikan, yaitu dari 6,9 persen (Maret 2020) menjadi 12,6 persen (Mei 2021).
Dalam rilis hasil survei nasional yang dilakukan pada 21-28 Mei 2021 ini, juga menunjukkan pada umumnya publik tidak setuju presiden Jokowi kembali menjadi calon presiden untuk ketiga kalinya dimana mencapai 52.9 persen, dan 74 persen menghendaki presiden dua periode saja.
Dengan demikian masih perlukah kampanye Jok-Pro itu dilanjutkan ?
3 Komentar