Readtimes.id– “Kemarin ibu saya 63 tahun, bude 65 tahun, pakde 72 tahun datang untuk vaksin, sudah screening, isi form, pas mau suntik disuruh pulang lagi gara-gara gak bawa fotokopi KTP, padahal bawa KTP asli”.
Berikut adalah status pengguna twitter @amirawulan pada 22 Juli lalu. Cuitan ini menambah jumlah masyarakat yang protes karena tidak bisa mengakses layanan kesehatan di tengah pandemi hanya karena persoalan persyaratan klasik birokrasi yang harus menyertakan salinan KTP elektronik.
Fotokopi KTP tersebut diklaim guna mendukung pendataan masyarakat yang telah mengikuti program vaksinasi nasional yang kini telah digalakkan oleh pemerintah. Program vaksinasi ini juga turut serta menggandeng berbagai pihak seperti swasta, sekolah, kampus, kepolisian/tentara sebagai pendukung serta pihak penyelenggara vaksinasi di berbagai daerah.
Kendati demikian, patut diketahui, dari seluruh lembaga atau instansi yang menjadikan diri sebagai pihak penyelenggara tidak secara keseluruhan mewajibkan fotokopi KTP elektronik sebagai syarat administrasi vaksin.
Baca Juga : Sertifikat Vaksin dan Hak Kependudukan di Tengah Pandemi
Di Universitas Hasanuddin misalnya, yang baru saja menyelenggarakan vaksinasi untuk alumninya tidak mensyaratkan salinan KTP elektronik sebagai syarat vaksin yang harus dibawa oleh peserta vaksin.
“Kami hanya meminta para peserta untuk membawa pena dan KTP asli saja untuk mengisi formulir untuk selanjutnya diverifikasi oleh panitia saat mereka mendapatkan giliran di vaksin,” terang Burhan Kadir, perwakilan panitia vaksinasi Unhas saat dihubungi oleh readtimes.id.
Pihaknya menjelaskan bahwa fotokopi KTP elektronik tidak dibutuhkan karena sebelumnya peserta telah diminta untuk mengisi formulir secara online sehingga disaat hari pelaksanaan vaksin panitia hanya bertugas untuk melakukan verifikasi ulang.
Tidak ingin menyulitkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan vaksin merupakan alasan mengapa Universitas Hasanuddin tidak memberlakukan fotocopy elektronik terang pria yang akrab disapa Onil ini.
Juru Bicara Kemenkes bidang vaksinasi Covid-19, dr Siti Nadia Tarmizi turut angkat bicara dalam merespon persoalan ini. Ia menyatakan bahwa syarat fotokopi KTP merupakan syarat tingkat penyelenggara, bukan Kementerian Kesehatan karena tidak tercantum dalam pedoman vaksinasi.
“Nggak ada (syarat fotokopi KTP) kalau di pedoman pelaksanaan vaksin karena cukup di-entry di PCare,” ungkap Siti di sejumlah media.
Seperti yang diketahui tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) pemerintah merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: HK.01/07/MENKES/4638/2021 dimana memang tak mencantumkan syarat fotokopi KTP melainkan diharuskan menunjukkan berkas pendukung, seperti KTP atau Kartu Keluarga.
Belum Terkoneksi
Persyaratan fotokopi KTP untuk vaksinasi yang selama ini diketahui publik bertujuan untuk mendapatkan sertifikat vaksin. Namun, sejatinya juga tidak efektif karena masih banyak masyarakat yang mengeluh belum mendapatkan sertifikat atau notifikasi setelah mendapatkan vaksin.
Hal ini bisa dilihat di laman YouTube aplikasi Lindungi Peduli yang belum lama ini dibanjiri komentar oleh publik yang protes karena belum mendapatkan sertifikat vaksin meskipun mereka telah menghubungi nomor darurat yang tertera di aplikasi tersebut.
Ini bisa terjadi karena sebelumnya tidak pernah ada kerja sama antara aplikasi si PeduliLindungi dengan Dukcapil. Seperti yang diungkapkan oleh Zudan Arif Fakrulloh, Dirjen dukcapil Kemendagri dalam sebuah diskusi bertema “Dokumen Kependudukan Penting bagi Orang Asing dalam Mensukseskan Vaksinasi Nasional”.
“Saya jelaskan, pertama PeduliLindungi itu tidak terkoneksi dengan data Dukcapil. Begitu juga, aplikasi P-Care Vaksinasi dari BPJS Kesehatan tidak terkoneksi dengan Dukcapil, sehingga saya agak kesulitan membantu. Ini yang perlu kami sampaikan,” kata Dirjen Zudan Arif Fakrulloh.
Untuk itu, Zudan mendorong Kemenkes untuk menghubungkan kedua aplikasi itu ke Dukcapil seperti yang dilakukan kementerian lain.
Perlindungan Data Penduduk.
Dengan adanya perbedaan persyaratan vaksin yang digunakan oleh pihak ketiga, dalam hal ini penyelenggara, maka negara tidak hanya perlu memastikan bahwa penduduk mendapatkan pelayanan vaksin melainkan juga keamanan data milik mereka.
Tidak cukup dengan menerbitkan peraturan kementerian seperti yang dilakukan oleh Kominfo maupun Kemenkes untuk melindungi data pribadi publik melainkan juga adanya pengawasan secara langsung terkait teknis di lapangan serta meminta pertanggungjawaban dari para pihak penyelenggara. Hal ini diungkap pakar kebijakan publik Universitas Gadjah Mada, Wahyudi Kumorotomo kepada readtimes.id.
“Ini penting karena undang-undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) itu belum disahkan sampai sekarang sehingga belum ada jaminan pasti bagi publik untuk menggugat pemerintah ketika data mereka bocor,” terangnya.
Ia juga mengungkap dalam pengamatannya, ketiadaan UU PDP ini membuat banyak kasus kebocoran data menjadi hal lumrah dan tidak begitu dipersoalkan yang sejatinya adalah hal yang begitu penting di era digital sekarang. Saat ini, tambahnya, data dijadikan sebagai sebuah komoditi yang telah menjanjikan dalam segala sektor.
Lebih dari itu, publik juga dihimbau untuk tidak melakukan hal-hal yang secara tidak langsung juga membongkar data pribadi mereka terutama di media sosial yang cepat sekali tersebar. Tindakan seperti mengupload KTP, sertifikat vaksin, kartu ATM atau kartu kredit adalah hal yang sebaiknya dihindari.
Tambahkan Komentar