Readtimes.id — Pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia tak pernah luput dari praktik politik identitas. Hal ini tak jarang membuat polarisasi pemilih tak hanya terjadi ketika kontestasi melainkan juga pasca kontestasi.
Meskipun sudah berlangsung sejak lama harus diakui tren-nya baru sangat terasa ketika pelaksanaan Pilkada Jakarta beberapa tahun silam, yang berhasil mempertemukan antara Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan.
Secara istilah politik identitas memilik beragam definisi, namun pada dasarnya politik identitas dipandang sebagai sebuah aktivitas politik yang memfokuskan dirinya pada pembedaan sebagai kategori utamanya. Ada pun dalam kontestasi politik pembedaan ini biasanya muncul dalam bentuk agama, suku, ras, atau bahkan ideologi politik tertentu. Dengan politik identitas seseorang atau kelompok tertentu dapat menentukan siapa – siapa saja yang dapat disertakan dan siapa saja yang akan ditolak pada sebuah lingkungan berdasarkan identitas yang melekat pada dirinya.
Memandang karena sifatnya dapat memecah belah antar kelompok masyarakat terutama pasca pelaksanaan pesta demokrasi yang harusnya menjadi sebuah jalan untuk menghormati adanya perbedaan di masyarakat, maka diperlukan adanya sebuah langkah rekonsiliasi agar konflik yang ditimbulkan oleh politik identitas tidak semakin besar dan memicu disintegrasi dalam masyarakat.
” yang jelas pada dasarnya rekonsiliasi politik dalam konteks pilkada adalah bagaimana orang mau berbesar hati menerima kondisi, karena memang prinsip pilkada adalah menerima perbedaan, dan secara hukum itu diatur sebagai sebuah kesepakatan. sehingga ketika berbicara rekonsiliasi politik pasca pilkada itu artinya adalah melibatkan semua pihak ” kata Sukri Tamma pengamat politik Universitas Hasanuddin.
Pihaknya juga menekankan bahwa rekonsiliasi politik seharusnya tidak berakhir menjadi sebatas jargon, melainkan benar- benar ditunjukkan terutama oleh para elit, karena bagaiamana pun di dalam masyarakat kita ada kelompok masyarakat yang masih sangat terpengaruh dengan sikap elit.
Lebih jauh dari itu Sukri juga memandang bahwa benturan yang terjadi di tataran elit itu akan berbeda bentuknya ketika sudah turun ke masyarakat yang mana akan berubah menjadi sesuatu yang lebih destruktif.
Selanjutnya yang tak kalah penting terlibat dalam rekonsiliasi adalah masyarakat sendiri yang harus menyadari bahwa momen kontestasi telah usai, terlebih ketika proses kontestasi telah sesuai dengan standar aturan hukum yang berlaku.
Tidak bisa dipungkiri perbedaan identitas niscaya akan selalu hadir di ruang-ruang pesta demokrasi, karena sejatinya dengan identitas yang berbeda masyarakat akhirnnya mempunyai indikator untuk memilih bukan justru untuk memukul.
1 Komentar