Readtimes.id — Pembubaran Front Pembela Islam ( FPI ) di penghujung tahun 2020 menambah daftar organisasi masyarakat yang dibubarkan oleh pemerintah di masa kepemimpinan Joko Widodo.
Seperti yang kita ketahui sebelumnya mantan Wali Kota Solo itu juga telah membubarkan salah satu ormas besar di negara ini yaitu Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI) pada tahun 2017.
Gerakan keduannya dianggap melanggar hukum dan mengancam kesatuan negara Republik Indonesia, sehingga perlu mendapatkan tindakan lebih lanjut dari pemerintah yakni pembubaran
Adapun HTI adalah ormas yang dibubarkan dengan dakwaan ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Begitu pun juga FPI dengan pandangan Islam konservatifnya yang ingin menegakkan nilai- nilai Islam di Indonesia yang dianggap sebagai negara sekular.
Jika diperhatikan baik HTI maupun FPI pada dasarnya adalah dua organisasi masyarakat berbasis keagamaan yang sama-sama berbada hukum. HTI terdaftar di Kemenkum HAM dan FPI terdaftar di Kementrian Dalam Negeri ( Kemendagri) — meskipun ketika dibubarkan secara de Jure tak lagi berbadan hukum sejak 20 Juni 2019 dikarenankan tidak memperpanjang surat keterangan terdaftar (SKT) sebagai ormas di Kemendagri.
Meskipun demikian jika ditelusuri dari segi mekanisme pembubaran keduanya didasari oleh peraturan perundang-undangan yang sama yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Seperti yang diketahui perundang-undangan ini menuai polemik sejak awal perumusannya terkait pemangkasan prosedur hukum acara pelarangan maupun pembubaran ormas. Dimana dilakukan dengan menghapus mekanisme teguran dan pemeriksaan pengadilan, seperti yang kemudian terjadi pada kasus FPI yang dibubarkan hanya dengan Surat Keputusan Bersama ( SKB) 6 menteri yaitu Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Kepala BNPT .
Melihat hal ini tentu bukanlah kabar yang membahagiakan di awal tahun bagi ormas-ormas yang berada di luar pemerintah alias oposisi, yang bisa saja turut dibubarkan ketika dipandang terlalu lantang mengkritisi setiap kebijakan rezim. Jika sudah seperti ini masih adakah jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul di negara yang katanya demokratis ini?
Tambahkan Komentar