Readtimes.id — Dengan ditetapkannya Ambroncius Nababan sebagai tersangka dalam kasus rasisme yang menimpa Natalius Pigai– Mantan Komisioner HAM dari Papua, maka bertambah pula jumlah kasus praktik rasisme terhadap Papua yang berujung pidana dimana menggunakan sosial media sebagai mediumnya.
Sebelumnya pada tahun 2019 Polisi juga pernah menangkap TS seseorang yang bertanggungjawab atas aksi kerusuhan yang diakibatkan oleh perilaku rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya.
Tersangka juga di jerat dengan pasal berlapis yaitu pasal dalam UU ITE UU KUHP Pasal 160, dan UU No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana karena memicu keributan dan kerusuhan di dunia maya terkait apa yang kemudian menimpa para mahasiswa asal bumi Cendrawasih tersebut.
Menanggapi hal ini pakar komunikasi publik Universitas Hasanuddin, Hasrullah menilai hal tersebut dapat terjadi karena rata-rata pengguna sosial media di Indonesia tidak menyadari jenis kecepatan yang ditawarkan oleh sosial media dalam menyebarkan informasi. Ditambah tak memiliki self control saat hendak menuliskan sesuatu atau merespon sesuatu di media sosial sehingga seringkali tidak bisa membedakan mana pernyataanya yang berbau rasisme dan tidak
” Apapun jenis kasusnya kalau menyangkut penggunaan sosial media, saya pikir itu pasti ada hubungannya dengan self control yang tidak berjalan dengan baik sehingga tak jarang tanpa disadari kita melakukan tindakan rasis.Di tambah lagi karakter sosial media itu sangat cepat, berbeda dengan media cetak atau lainnya ” ujar Hasrullah
Menurutnya kalau ada kekeliruan di media cetak kemungkinan masih bisa dilakukan penyuntingan berbeda dengan media sosial jikalau sudah menyebar itu akan sulit untuk dilakukan penyuntingan atau bahkan klarifikasi
Di lain sisi ketika disinggung mengenai efektivitas penggunaan pasal dalam UU ITE untuk mengatasi sebaran rasisme di sosial media yang mana juga sering digunakan sebagai payung hukum dalam menjerat pelaku rasisme, menurut Hasrullah kehadiran UU ITE tersebut tak lain merupakan regulasi yang dapat dijadikan cermin oleh masyarakat dalam bersikap di sosial media
” Kalau saya melihatnya itu lebih sebagai cermin ya, dalam penggunaan sosial media untuk mempertimbangkan apa dampak dari setiap status kita atau respon kita terhadap sebuah isu” tambahnya
Lebih jauh pihaknya juga turut menjelaskan bahwa sejatinya masyarakat Indonesia tidak cukup hanya bercermin pada UU ITE ketika hendak berpendapat di sosial media, melainkan juga bercermin dan memahami nilai-nilai Pancasila sebagai inter culture communication yang sifatnya adalah menghormati adanya perbedaan pandang antar sesama yang tak selayaknya dapat digunakan sebagai sumber konflik.
3 Komentar