
Readtimes.id– Nasi kini telah menjadi bubur. Ambroncius Nababan harus menebus konten facebooknya dengan ancaman 5 tahun penjara setelah dinilai rasis oleh sejumlah pihak yang lantas melaporkannya ke polisi.
Seperti yang diketahui politisi Hanura ini awalnya hendak merespon pernyataan Natalius Pigai — mantan Komisioner Hak Asasi Manusia yang menyebut masyarakat berhak untuk menolak vaksin Covid-19 yang diberikan oleh pemerintah.
Karena merasa tidak satu pandangan, Ambroncius pun meresponnya dengan menyandingkan gambar seekor satwa dengan foto Natalius Pigai yang kemudian dilengkapi dengan sebuah percakapan yang dinilai rasis.
Alhasil politisi Hanura yang juga pernah mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif untuk wilayah Papua ini, dijerat dengan pasal berlapis yakni Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Serta Pasal 16 Juncto Pasal 4 huruf b ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan juga Pasal 156 KUHP.
Menanggapi kejadian rasisme sejenis yang berulang-ulang terjadi di Indonesia dimana objeknya adalah Papua, sosiolog Universitas Hasanuddin, Rahmat Muhammad, menilai bahwa hal tersebut bisa terjadi karena rasisme di Indonesia itu sifatnya latensi.
” Saya melihat rasisme di Indonesia sifatnya latensi ya, dimana sejatinya hal itu sebenarnya sudah ada di bawah permukaan. Jadi tinggal tunggu momentum atau pemicu yang tepat saja untuk muncul dan meledak di permukaan ” ujar Rahmat.
Pihaknya juga menjelaskan ini perlu direspon cepat karena pada dasarnya isu rasisme itu sangat mudah dikaitkan dengan isu-isu yang lain seperti politik, kesejahteraan, keamanan dan lain sebagainya yang akan berdampak besar pada keamanan dan pertahanan negara.
Hal ini berdasar jika melihat apa sering terjadi dengan isu rasisme yang menimpa Papua dari tahun ke tahun yang selalu dibenturkan dengan isu kebijakan pembangunan yang tidak merata antara Indonesia bagian barat juga Indonesia bagian timur.
Selain itu Rahmat juga mengingatkan meskipun secara regulasi kita telah mempunyai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, namun pendekatan persuasif itu perlu dijalankan mengingat masih banyak oknum yang sangat mudah memanfaatkan isu rasisme untuk kepentingan pribadi tanpa memerhatikan dampaknya
” Negara tidak boleh terlena meskipun kita sudah punya regulasi, karena masyarakat kita itu memiliki pola pikir yang berbeda -beda. Pendekatan persuasif menjadi hal yang sangat penting di balik regulasi untuk menghindari oknum masyarakat yang memanfaatkan isu ini untuk kepentingannya sendiri” tandasnya.
Tambahkan Komentar