Jika dalam pemilu orde baru publik cenderung diperhadapkan dengan kemenangan sosok pemimpin yang sama dari tahun ke tahun, pasca reformasi pun sebenarnya tidak jauh berbeda. Publik kembali disuguhkan dengan praktik kekuasaan yang tak lepas dari klan atau trah tertentu, meskipun aktornya berganti. Kemenangan dari satu trah ini lah yang kemudian diartikan publik sebagai sebuah praktik dari dinasti politik.
Secara aturan dinasti politik di negara ini masih dilegalkan, meskipun tidak sedikit pada praktiknya justru meninggalkan pekerjaan rumah untuk negara. Adalah kasus korupsi, kolusi dan nepotisme tak jarang merupakan hal yang mudah untuk ditemui dalam praktik dinasti politik. Di Indonesia dinasti Ratu Atut Chosiyah di Banten, Rita Widyasari di Kutai Kertanegara, Atty Suharti di Cimahi adalah sekian contoh dari dampak buruk praktik dinasti politik.
Sementara itu, penelitian lainnya menunjukkan bahwa dinasti politik juga memiliki dampak buruk terhadap perumusan dan pengambilan kebijakan publik. Hadirnya dinasti politik disebut telah berkontribusi terhadap melebarnya jurang kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin (Mendoza: 2012). Melebarnya kesenjangan ini terjadi akibat pemupukan kekuasaan dan kekayaan yang hanya berkutat pada keluarga yang mempraktekkan dinasti politik.
Keterpilihan sebuah anggota keluarga dari seorang petahana melalui proses pemilu, mungkin tidak akan menjadi persoalan jika sosok yang terpilih adalah sosok yang mumpuni serta melewati proses yang demokratis, terlebih hak dipilih dan memilih adalah sesuatu yang dijamin oleh konstitusi. Namun menjadi masalah ketika dalam proses pencalonan, pihak yang bersangkutan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan suara publik dengan menutup jalan bagi kandidat lain yang notabene mungkin lebih mumpuni, termasuk dengan memborong semua partai politik yang ada.
Berdasarkan fakta tersebut Lembaga Studi Kebijakan Publik ( LSKP ) merasa perlu untuk mendudukkan pihak -pihak yang bersangkutan, dalam hal ini perwakilan partai politik serta pihak-pihak yang kompeten dalam menjelaskan fenomena dinasti politik di tanah air untuk mengulas lebih jauh terkait praktik budaya dinasti politik serta konsekuensi logis bagi negara demokrasi guna melahirkan sebuah rekomendasi serta pendidikan politik bagi publik. Hal ini disajikan dalam sebuah acara diskusi bincang -bincang policy Brief yang bertajuk “Budaya Dinasti Politik di Indonesia” yang rencananya akan diselenggarakan di Warkop Ide pada hari Minggu, 25 April 2021, pukul 16.30 WITA.
Menghadirkan dua pembicara yakni Shalehin Pengurus DPD 1 Golkar, Provinsi Sulawesi Selatan dan Sumarni Susilawati, PW Nasyiatul Aisyiyah Sulawesi Selatan
Tambahkan Komentar