RT - readtimes.id

Ikon PON XX, Apropriasi atau Apresiasi Budaya?

Readtimes.id– Di tengah ramainya wacana penolakan otonomi khusus dan tuntutan penyelesaian HAM di Papua,  publik Tanah Air kembali dihebohkan dengan persiapan pekan olahraga nasional (PON) di bumi Cendrawasih itu.

PON XX yang dijadwalkan pada 2-5 Oktober 2021 ini mendaulat Nagita Slavina sebagai ikon pagelaran, yang menurut sejumlah pihak tidak merepresentasikan masyarakat Papua.

Komedian Arie Kriting salah satu yang kontra terhadap penunjukan Nagita. Menurut Arie pria yang aktif mengawal isu-isu  gender dan perempuan ini, ikon PON harusnya dipilih dari putra- putri Papua untuk lebih merepresentasikan orang Papua. Apalagi  mengingat pagelaran PON tahun ini juga menjadi ajang untuk menunjukkan eksistensi  Papua.

Sejumlah publik figur perempuan asal Papua seperti Nowella, Lisa Rumbewas, Putri Nere, dan Monalisa Sember pun diusulkan Arie untuk menjadi ikon PON XX 2021.

Isu cultural appropriation atau pengambilan budaya pun kembali mencuat di permukaan menyoal didapuknya seniman yang kerap disapa Gigi ini. Diartikan dari Cambridge Dictionary, cultural appropriation berarti mengambil atau menggunakan sesuatu dari budaya yang bukan milik sendiri, tanpa memperlihatkan bahwa seorang tersebut memahami dan menghormati budaya tersebut.

Antropolog dari Universitas Hasanuddin, Yahya, dalam keterangannya pada readtimes.id mengatakan bahwa hal tersebut belum bisa dikatakan pengambilan budaya selama pihak yang menampilkan atau menggunakan segala macam simbol budaya tersebut tidak melakukan transformasi dan mengakuinya sebagai budaya milik mereka.

“Yang kemudian menjadi soal ketika melalui penggunaan simbol budaya tersebut ada konsekuensi ekonomi, misalnya ada aliran dana. Nah ini kan tentu harusnya dalam konteks Papua ya  seharusnya masyarakat Papua saja yang menjadi  ikon dari kegiatan tersebut, ” terang Ketua Departemen Antropologi Unhas ini.

Kendati demikian, jika penggunaan simbol budaya tersebut jadi momentum untuk memperkenalkan budaya lokal ke publik yang lebih luas, maka justru itu menjadi cultural appreciation bukan cultural appropriation.

Lebih dari itu, pada akhirnya kegiatan pekan olahraga nasional tak seharusnya menjadi ajang untuk memecah belah persatuan bangsa. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat sudah selayaknya bertanggung jawab atas setiap peran yang diambil. Tak terkecuali juga penyelenggara yang seharusnya lebih mempertimbangkan segala aspek sosial dan budaya yang ada di sekitar, untuk menghindari adanya  konflik di kemudian hari.

Ona Mariani

1 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: