RT - readtimes.id

Amerika dan Konflik Identitas yang Tak Berujung

Readtimes.id — USA ! USA ! Hentikan pencurian! Pekikan suara demonstran menggema hampir di seluruh penjuru ruangan gedung yang menjadi simbol negara demokrasi itu.

Ribuan manusia dengan atribut bendera AS berhasil menembus benteng terakhir aparat keamanan dan menduduki ruang kongres — tempat dimana Joe Biden seharusnya dikukuhkan secara resmi sebagai Presiden Amerika terpilih.

Namun lagi-lagi jauh panggang daripada api, semuanya terhenti begitu saja setelah Donal Trump berhasil membakar semangat para pengunjuk rasa dengan orasinya ” Selamatkan Amerika!” hingga pada akhirnya peristiwa 6 Januari itu pun terjadi. Peristiwa yang sekali lagi menimbulkan tanda tanya dunia tentang apa gerangan yang sedang terjadi dengan negara kiblat demokrasi dunia itu.

Para pakar politik pun angkat bicara soal ini salah satunya adalah Aribowo seorang doktor Ilmu Politik dari Universitas Airlangga Surabaya yang mengatakan bahwa apa yang terjadi pada Amerika salah satunya merupakan buntut panjang dari pemanfaatan politik Identitas oleh Trump selama masa kepemimpinanya

“Dari peristiwa itu saya melihat beberapa faktor salah satunya adalah politik identitas yang terus menguat di masa kepemimpinan Trump, bahkan disaat ia mulai mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika Serikat” ujar Aribowo ketika dihubungi oleh Readtimes.id

Adapun politik identitas yang dimaksudkan adalah ketika Trump berhasil mengolah sentimen anti kulit hitam, China, dan Islam menjadi strategi kampanye dan berujung pada sejumlah kebijakan rasis ketika ia dinyatakan terpilih.

Seperti yang diketahui setidaknya ada beberapa kebijakan Trump yang berbau rasisme, seperti melakukan pembatasan bagi masuknya orang-orang Islam melalui kebijakan imigrasi. Meskipun ia selalu mengelaknya sebagai upaya membatasi orang Islam, melainkan membatasi orang dari negara-negara tertentu yang mayoritas penduduknya memang Islam.

Selanjutnya adalah pembatasan visa bagi orang Tiongkok yang terdaftar sebagai anggota partai komunis oleh Trump, tak lain merupakan imbas dari perang dagang yang melibatkan kedua negara.

Berikutnya adalah pengampunan yang diberikan oleh Joe Arpaio, mantan Kepala Polisi Maricopa yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena melakukan operasi berdasarkan ras. Belum lagi kematian Goerge Floyd oleh petugas kepolisian Minneapolis yang berujung pada demonstrasi besar-besaran menuntut keadilan bagi masyarkat kulit hitam pada bulan Juni 2020 dan Jacob Blake oleh Polisi Winconsin adalah sejumlah kasus dampak dari kebijakan Trump yang mendukung supremasi kulit putih .

Perlakuan standar ganda rasial oleh aparat keamanan AS ketika penyerbuan Capitol Hill juga menjadi catatan tersendiri, dimana aparat hanya mengamankan 68 orang dengan alasan melanggar jam malam, faktanya mereka menyita sejumlah senjata dan alat peledak rakitaan. Belum lagi jumlah aparat keamanan di Capitol Hill diniliai sangat kurang, berbeda ketika aktivis Black Live Matters ( BLM) mengadakan unjuk rasa yang dimana keamanan sangat diperkuat bahkan cenderung berlebihan.

Menobatkan diri sebagai negara demokrasi dimana menjadi tuan rumah untuk segala jenis manusia, agama, etnis, golongan tak ayal memang akan menjadikan Amerika sebagai tuan rumah dari segala jenis konflik identitas yang ada, namun terlepas dari itu tak lantas dibenarkan jika negara beserta para penegak hukum pun tunduk pada perintah seorang Presiden yang tebal muka juga telinga.

Ona Mariani

297 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: