Readtimes.id– Sepak bola, olahraga yang digemari di Indonesia dan seluruh dunia. Sayangnya, meski olahraga adalah hak segala bangsa, perempuan tidak pernah benar-benar dilirik untuk memainkan sepak bola.
Perempuan memainkan sepak bola sejatinya sudah lama ada. Bahkan, menurut catatan Football Association (FA), sepak bola perempuan sudah dipertandingkan sejak 1895. Adapun di Indonesia, klub Putri Priangan yang berdiri pada 1969 menjadi pelopor sepak bola perempuan.
Sayangnya, meski sudah ada sejak lama, para pesepak bola perempuan masih kurang perhatian. Bahkan, tidak sedikit orang yang menganggap sepak bola adalah olahraga eksklusif untuk laki-laki.
“Emang sepak bola perempuan itu nggak disorot, jadi orang-orang banyak yang nggak tahu,” ujar eks pemain Persija Jakarta, Intan Nuraini kepada Readtimes.
Minimnya sorotan pada sepak bola perempuan ini pada akhirnya juga berdampak terhadap minat perempuan untuk memainkannya. Bahkan, Intan harus menempuh perjalanan jauh hanya demi bisa bermain sepak bola bersama perempuan lain.
Hal ini menyebabkan para perempuan yang ingin memainkan sepak bola terpaksa bermain bersama laki-laki atau ikut dalam sebuah tim futsal yang terdiri dari 5 orang pemain saja.
“Kalau tantangan sendiri sih itu mungkin kalau putri itu tempat latihannya,” ujar perempuan yang kini menekuni bidang kepelatihan tersebut.
Di titik ini, peran turnamen sepak bola perempuan sangat diperlukan untuk menarik perhatian masyarakat dan para calon pemain sepak bola. Sayangnya, pihak penyelenggara dan asosiasi juga belum memperlihatkan keseriusan dalam membenahi turnamen sepak bola perempuan.
“Kalau saya bilang belum (baik), karena masih sedikit kompetisi untuk nasional,” tambah Intan.
Minimnya turnamen pada akhirnya juga berdampak terhadap kualitas liga perempuan. Hal ini dikarenakan turnamen bisa menjadi pemasok bibit-bibit sepak bola perempuan yang nantinya akan dipoles di tim profesional.
Rendahnya kualitas liga sepak bola juga bisa berdampak terhadap kualitas dari tim nasional (Timnas) perempuan Indonesia. Minimnya jam terbang membuat kemampuan para pemain kurang terasah dan berujung pada hasil yang mengecewakan.
Ironisnya, hasil mengecewakan tersebut seringkali dipahami secara keliru oleh masyarakat Indonesia. Bahkan, tak jarang para atlet mendapat hujatan karena kalah dengan skor besar. Di sisi lain, ketika Timnas laki-laki yang mendapat hasil mengecewakan, pihak federasi yang disalahkan.
“Kayak cowok kan ya udah, yang disalahin bukan pemain juga, tapi federasi. Kalau kita (pesepak bola perempuan) kan yang disalahin itu pemain,” ujar juara AIA Women’s League 2019 tersebut.
Bahkan untuk sekadar menonton sepak bola perempuan, masyarakat Indonesia masih kesulitan untuk mengakses tayangan yang menyiarkannya. Kombinasi antara minimnya turnamen, kurangnya atlet, serta akses tayangan tersebut kemudian menjadi salah satu alasan mengapa sepak bola perempuan di Indonesia masih menjadi anak tiri.
Pada akhirnya, diperlukan peran aktif dari pihak federasi dalam mengembangkan sepak bola perempuan. Bahkan, menurut Intan, liga profesional perempuan di Indonesia masih kalah dari Liga 3 secara kualitas penyelenggaraan.
Apalagi persaingan sepak bola perempuan masih relatif merata. Bahkan, Timnas perempuan Jepang sudah berhasil menjadi juara piala dunia pada 2011, lebih dulu dari Timnas laki-lakinya.
Berkaca dari hal tersebut, PSSI sebagai induk sepak bola nasional seharusnya bisa melihat potensi yang ada pada sepak bola perempuan.
“Teman-teman yang sudah di sepak bola putri itu berbeda dan mereka hebat,” pungkas Intan.
Editor: Ramdha Mawaddha
1 Komentar