Readtimes.id– Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan pelarangan ekspor batubara kepada seluruh perusahaan. Hal ini dilakukan karena kekhawatiran terhadap rendahnya pasokan untuk pembangkit listrik domestik.
Berdasarkan surat bernomor B1611/MB.05/DJB.B/2021 yang ditandatangani Dirjen Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin, pelarangan ekspor batubara ini berlaku per 1 Januari hingga 31 Januari 2022.
Menurut Ridwan dalam suratnya, persediaan batubara pada PLTU Grup PLN dan Independent Power Producer (IPP) saat ini kritis dan sangat rendah. Sehingga, kekurangan ini bisa mengganggu operasional PLTU yang berdampak pada sistem kelistrikan nasional.
Hal ini bisa memicu banyak pemadaman karena defisit listrik akibat PLTU yang beroperasi saat ini tidak akan mendapatkan pasokan batubara yang mencukupi.
Sesuai ketentuan Pasal 158 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021, dinyatakan bahwa Pemegang IUP atau IUPK (izin usaha pertambangan dari pemerintah) tahap kegiatan Operasi Produksi dapat menjual batubara ke luar negeri setelah terpenuhinya kebutuhan dalam negeri.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan dalam rangka mengamankan pasokan batubara untuk kelistrikan umum serta mengantisipasi kondisi cuaca ekstrim pada Januari dan Februari 2022, Ridwan memohon kerja sama tiga instansi untuk melakukan penghentian ekspor batubara.
Ketiga pihak yang dimaksud yakni Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, kedua Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, dan ketiga Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, sebagai otoritas terkait dengan larangan ekspor.
Selain pelarangan ekspor, seluruh perusahaan pemegang PKP2B, UIP, UIPK Operasi Produksi, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dan pemegang izin pengangkutan dan penjualan batubara wajib memasok seluruh produksi batubaranya untuk memenuhi kebutuhan listrik.
Ini sesuai kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan/atau penugasan dari pemerintah kepada perusahaan dan/atau kontrak dengan PLN dan produsen listrik independen (IPP).
Jika perusahaan batubara sudah memiliki batubara di pelabuhan muat dan/atau sudah dimuat di kapal, kementerian menginstruksikan agar segera mengirimkannya ke pembangkit listrik milik PLN dan IPP. Hal itu dilakukan agar pelaksanaannya segera diselesaikan dengan PLN.
Saat ini, Indonesia memang melakukan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), yang mewajibkan perusahaan batubara memasok 25 persen dari produksi tahunan ke PLN.
Imbas Aturan yang Masih Kendor
Pengamat Pertambangan dan Peneliti di Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, mengatakan pemerintah memang harus mengambil sikap tegas terhadap perusahaan yang tak memenuhi kewajibannya untuk memasok batu bara dalam negeri. Pasalnya, ketidaktegasan pemerintah yang dinilai membuat PLN merugi.
“Dari pengamatan saya, banyak sekali produsen batubara tidak mau pasok ke PLN saat harga global naik. Pemerintah selama ini sering tidak tegas dengan pengusaha. PLN berkali-kali mengalami defisit batu bara jadi impor dari Australia,” kata Ferdy.
Ia menilai sudah sejak lama pemerintah tidak pernah bisa menegur secara tegas perusahaan batubara untuk memenuhi kewajibannya lantaran pengusaha batu bara berkaitan erat dengan percaturan politik nasional.
“Berkali-kali pasokan batu bara PLN itu berkurang dan pemerintah tidak pernah menegur secara korporat. Karena apa? produsen batu bara besar yang bertugas memasok DMO ke PLN itu berafiliasi dengan elite politik nasional,” katanya.
Ia mencontohkan beberapa perusahaan batu bara yang memiliki hubungan erat dengan sejumlah nama pejabat politik. Sebut saja Erick Thohir dan Boy Thohir dengan PT Adaro Energy Tbk, Aburizal Bakrie dengan PT Bumi Resources Tbk, hingga Luhut Binsar Panjaitan dengan PT Toba Bara Sejahtera Tbk, dan sebagainya.
Di lain sisi, Ferdy melihat perusahaan enggan memasok batu bara ke PLN sebab mereka telah memiliki kontrak kerja dengan pembeli di luar negeri setidaknya untuk 5 sampai 10 tahun mendatang.
“Kondisi turun terus selama pandemi, makanya ada kecenderungan mereka mengabaikan DMO untuk akumulasi dana yang besar dari harga batu bara di tingkat global. Mereka juga abaikan DMO demi menjaga kemurnian kontrak dengan buyer,” ujarnya.
Tak hanya itu, Ferdy turut mengkritik kebijakan pelarangan ekspor ini sebagai kekacauan pemerintah yang tidak sanggup memberikan formula yang tepat dalam mengatur DMO.
“Perihal DMO sebulan ini saya menilai ini jadi tolok Ukur amburadulnya Menteri ESDM, tidak sanggup buat formula tepat dalam mengatur DMO dalam jangka waktu yang lebih panjang. Kan tidak mungkin setiap bulan bikin kebijakan DMO,” ujarnya.
Ia pun menyarankan agar pemerintah segera merumuskan kebijakan lain seperti memberikan konsesi batu bara yang besar kepada PLN. Agar nantinya, PLN tak perlu lagi menunggu batu bara yang seharusnya diberikan kepada perusahaan negara, namun tak kunjung dipasok pengusaha batu bara.
Pemerintah Segera Berbenah
Pengamat Energi, Mamit Setiawan, mengatakan alasan di balik enggannya perusahaan batu bara memenuhi kewajibannya lantaran harga jual batu bara untuk PLN jauh lebih murah dibandingkan harga yang dijual di pasar global.
“Memang harga batubara sudah ada US$70 per metric ton cukup tinggi dibandingkan DMO, sementara di luar di atas US$150. Jadi ada selisih yang cukup signifikan antara harga DMO dengan di luar,” ungkapnya.
Selain itu, banyak perusahaan batubara sudah terlanjur memiliki kontrak dengan berbagai pihak seperti importir hingga pengusaha perkapalan pengangkut batu bara. Oleh karenanya, sulit memasok batubara untuk listrik dalam negeri.
Kendati demikian, Mamit mendukung pemerintah untuk melakukan pelarangan ekspor sementara dan dianggap sudah ideal. Pasalnya, pemadaman listrik yang mengancam 10 juta pelanggan PLN dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian ekonomi hingga kerusuhan sosial.
“Sebulan saja idealnya, kalau misal lebih lama lagi saya kira akan timbulkan polemik di pengusaha batu bara. Satu bulan bisa jadi solusi kebutuhan batu bara bagi PLN dan pengusaha bisa ekspor (kembali) ketika pasokan bisa terpenuhi,” ujarnya.
Di lain sisi, ia melihat kebijakan pemerintah tersebut akan menguntungkan PLN. Dalam hal ini, layanan listrik kepada pelanggan tidak terganggu.
Mamit juga menilai masyarakat ikut diuntungkan atas kebijakan ini karena pemadaman listrik massal mungkin saja tidak terjadi lantaran sudah mulai terpenuhinya pasokan batu bara bagi PLN.
Sementara itu, pengusaha batu bara dan pengusaha transportasi angkutan batu bara dinilai menjadi pihak yang merugi lantaran terhentinya operasional setidaknya hingga 30 hari ke depan.
Mamit merekomendasikan agar pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait untuk segera berbenah diri agar pasokan batu bara dan listrik nasional tetap stabil di tengah harga batu bara global yang tinggi.
“Catatan untuk PLN, cobalah untuk berbenah. perbaiki sistem kontrak dengan pemasok batu bara dan pembayarannya. Sebelum tanggal 31 Januari apabila sudah terpenuhi kebutuhan, PLN jadi bisa meninjau kembali keputusan agar bisa menjadi win-win solution antara pemerintah, PLN, dan pengusaha,” tutupnya.
1 Komentar