Readtimes.id — “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”—Tan Malaka.
Tulisan ini akan menjadi catatan paling subyektif tentang dunia buku. Barangkali apa yang akan aku simpulkan bertentangan dengan data-data yang bisa ditelusuri. Namun aku ingin menangkap perasaan paling random yang sekilas muncul di dalam benakku. Pertanyaan yang aku ajukan pada diriku sendiri adalah ini: apa sesungguhnya yang kita khawatirkan dari dunia buku?
Pertama, rasa-rasanya tak ada yang perlu kita khawatirkan. Sepanjang tahun ini aku masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya: rakus belanja buku. Rasa-rasanya pula, penerbit-penerbit baik yang major dan indie sama bergairah menerbitkan buku-buku berkualitas untuk kita di Indonesia. Di luar Gramedia, kita mengenal penerbit marjin kiri, kakatua, moooi, komunitas bambu, dan lain-lain, yang nyaris setiap bulan menerbitkan buku-buku dengan kualitas tema dan bungkusan yang menarik.
Toko-toko buku online langgananku juga semakin rapi dalam penyajian foto-foto buku terbaru, dan mereka selalu sigap melayani pelanggan. Lalu apa yang perlu kita khawatirkan dari dunia buku?
Kedua, gairah membicarakan buku rasa-rasanya masih tetap ada, baik yang dilakukan oleh penerbit dan penulis itu sendiri, maupun oleh pembaca yang sangat menggemari dunia buku. Aku sepertinya sudah dua kali meladeni seorang teman sesama pecinta buku untuk membicarakan buku via live IG kami.
Di kotaku sendiri, Kota Mataram di Lombok NTB, membicarakan buku masih menjadi agenda rutin yang terjadwal dan dihelat dengan serius. Meski pesertanya tidak sebanyak orang-orang yang nongkrong di angkringan, tapi setidaknya ada segelintir orang ‘gila’ yang masih mau merawat cara berpikir lewat dunia teks.
Ketiga, sampai saat ini saya belum melihat secara signifikan ‘ancaman’ dunia buku akan tergusur oleh dunia digital. Saya melihat dunia buku belum terkalahkan dalam memberikan kenyamanan dan ruang reflektif bagi seseorang dalam membaca. Secara filosofis buku fisik tidak lagi bermakna semata kertas yang dapat memburam seiring waktu, namun buku fisik menjadi perlawanan terhadap dunia yang terlalu cepat berjalan dan berlari, minim makna, tanpa jeda untuk bisa memberikan arti pada kehidupan ini.
Seorang kawan pernah bilang, “pada masa datang, dunia buku akan jadi benda antik yang akan disimpan di museum-museum, lalu orang-orang akan datang melihat dan mengagumi benda yang pernah menjadi teman santai leluhur mereka di masa lalu.” Tapi saya pikir momen itu belum akan terjadi dalam abad-abad dekat. Barangkali sebelum saat itu tiba, dunia akan kedahuluan hancur oleh sampah-sampah elektronik yang semakin menggunung.
Lalu apa sesungguhnya yang kita khawatirkan dari dunia buku?
Keempat, tentang toko-toko buku yang semakin hari semakin tumbang satu demi satu. Apakah ini yang perlu kita khawatirkan? Nampaknya tidak juga. Seperti telah disampaikan di atas, sekarang toko-toko buku alternatif dengan model klandestin atau seperti gerilya bawah tanah. Toko-toko buku modalnya kecil saja, namun langsung menyentuh konsumen di seluruh pelosok negeri. Malah, dalam pengalaman saya, beberapa penjual model ini adalah pembaca yang rakus pula, yang menjadikan hobinya sekaligus pekerjaan. Menyenangkan, bukan?
Lalu apa sesungguhnya yang kita khawatirkan dari dunia buku?
Aku pikir masih akan tetap ada harapan bagi dunia buku menemui pembacanya. Toko-toko buku barangkali memang dipercepat tumbangnya oleh Covid-19, tapi tidak dengan buku itu sendiri. Rasa-rasanya tahun-tahun terakhir ini adalah masa paling nikmat bagi orang Indonesia dalam membaca buku. Buku terjemahan yang baik berlimpah, buku karya lokal juga tak kalah berlimpah. Pilihan semakin banyak.
Tak ada ancaman bagi penulis dengan tema-tema tertentu dilarang menulis atau karyanya dibakar. Masa-masa itu telah lewat. Paling yang masih menjadi kendala kita adalah buku masihlah mahal karena negara masih belum benar-benar berbaik hati untuk tidak mencekik penulis dengan pajak tinggi atau setidaknya mensubsidi kertas agar buku jadi semakin murah dan bisa terjangkau.
Tapi kita kan punya perpustakaan, baik yang dimiliki perpustakaan daerah atau yang dikelola oleh komunitas yang nafasnya sangat berat untuk berbuat baik. Jadi apa sesungguhnya yang kita khawatirkan dari dunia buku?
Barangkali memang ada yang perlu kita khawatirkan dengan dunia buku. Tapi sekali-kali boleh lah kita membangun optimisme alih-alih mengais-ngais kekurangan.
Tahun 2024 mendatang telah menjelang. Bagaimana nasib dunia buku? Mari kita optimis. Semoga pemerintah mendatang akan memberi kita cahaya yang cerah. Semoga korupsi bisa dihilangkan agar dapat mensubsidi kertas kita. Semoga partai-partai pemenang pemilu tidak asyik dengan proyek untuk diri mereka sendiri agar pemerataan termasuk dalam proyek pengadaan buku di desa-desa bisa dilaksanakan.
Tapi jika pun harapan itu tidak terlaksana, kita masih punya komunitas tempat kita saling menguatkan. Atau berusaha dengan cara sendiri agar tetap bisa mengakses buku, seperti satu solusi dari Tan Malaka, “bila perlu pakaian dan makanan dikurangi.”
Hmmm, aku baru sadar aku telah melakukan itu. Handukku di kamar mandi sudah sangat kumal. Saatnya perlu diganti. Tapi, bagaimana ya, bulan ini ada 2 pre-order buku yang bagus sekali. Hmmm….
Tambahkan Komentar