“Teman-teman, ayo datang. Kita belajar. Belajar membaca. Kak Udin datang,” suara seorang anak laki-laki menggema dari satu pelantang, memecah hening daerah persawahan Kamis (10/03) sore itu.
Tak lama kemudian, puluhan anak kecil usia sekolah dasar berhambur keluar dari gang-gang menyambut seorang laki-laki bergamis putih bersongkok hitam dan bersarung motif kotak-kotak, mengendarai motor tiger warna putih. “Kak Udin datang, kak Udin datang,” seru mereka berlari menghampiri.
Laki-laki yang mereka panggil Kak Udin itu mengendarai motornya di depan. Container box merah 150 liter terikat tali karet hitam bersandar di jok belakang. Kak Udin melaju pelan di atas jalan dusun berbatu. Anak-anak itu terus berlari seakan tak ingin tertinggal jejak motor Kak Udin.
Kak Udin memarkir motornya di depan sebuah rumah. Saat dia turun, nampaklah di badan motor sebelah kanan ada tulisan, “PERPUSTAKAAN KELILING”. Boks merah dia turunkan: terpal biru dan tumpukan buku bergambar nyaris memenuhi bagian dalam boks.
Terpal 3 x 4 dia hamparkan. Anak-anak kecil itu langsung duduk berdempetan di atasnya, mengelilingi Kak Udin. Tak lama kemudian, buku-buku dari dalam boks itu segera berpindah ke tangan anak-anak itu.
Sekira satu jam Kak Udin menemani anak-anak itu: bermain, bernyanyi, bercerita, dan menggambar. Anak-anak itu dibebaskan oleh Kak Udin untuk mengambil tempat di mana saja untuk membaca dan menggambar. Keceriaan dan keriuhan mengisi suasana. “Seperti inilah suasananya setiap kali saya datang,” kata Kak Udin.
Beberapa perempuan dewasa memantau dari pinggir jalan. Ada yang menggendong anak kecil di dalam dekapannya, ada yang berdiri tersenyum menyaksikan keriuhan anak-anak itu. “Itu anak saya bernama Meli. Sejak Kak Udin sering datang ke sini membawa buku-buku, anak-anak jadi berkembang kemampuan belajarnya,” jelas Ibu Murniati.
Langit mulai remang-remang. Sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang. Kegiatan belajar bersama “PERPUSTAKAAN KELILING” Kak Udin harus berakhir sore itu. Alat-alat belajar kembali dibenahi. Kak Udin tersenyum menyiratkan rasa senang dan bahagia.
*****
‘Kak Udin’ adalah nama panggilan anak-anak desa dan dusun di Desa Bayan untuknya. Nama lengkapnya, Asuddin. Orang-orang dewasa memanggilnya Pak Udin. Umurnya 40 tahun. Saat ini dia tinggal di kaki gunung Rinjani, daerah berbukit dengan bentangan sawah luas di Desa Bayan. Tempatnya tinggal bernama Dusun Dasan Tutul, Desa Bayan, Kecamatan Bayan, di Kabupaten Lombok Utara. Dia tinggal di sini sejak 2003 saat menikahi perempuan setempat. Asuddin memiliki tiga anak, yang paling besar kini menempuh pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan, anak kedua duduk di bangku SMP, dan paling kecil baru berumur 5 bulan.
Asuddin hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama. “Itu pun tidak sampai pegang ijazah,” katanya. Tapi namanya mulai dikenal melalui “PERPUSTAKAAN KELILING” yang digerakkannya seorang diri. Ia mendatangi dusun-dusun dan mengumpulkan anak-anak untuk belajar di waktu senggang mereka.
Motivasi Asuddin menggerakkan literasi bersama “PERPUSTAKAAN KELILING”-nya bisa ditelusuri pada 2018 silam. Dia menjadi relawan program “Gema Literasi” yang dijalankan oleh satu lembaga bernama Save the Children. Saat itu dia menjadi Ketua Komite sekolah di dusunnya. “Saya didesak terus oleh Kepala Sekolah untuk ikut. Karena tak ada yang bersedia. Mereka menganggap jadi relawan itu tidak ada gajinya,” terang Asuddin.
Tiga bulan—Mei hingga Juli—program “Gema Literasi tersebut berjalan”. Asuddin belajar banyak dari kegiatan tersebut. Dia belajar bagaimana menggerakkan literasi untuk anak-anak, bagaimana mengorganisir pertemuan belajar dengan anak-anak.
Kurikulum program literasi dari Save the Children itu dikuasai oleh Asuddin. Saat program selesai, buku-buku dalam boks ‘diwariskan’ kepadanya, dengan harapan kegiatan literasi yang pernah dijalankan bersama Save the Children tetap akan dijalankan meski program telah berakhir.
Ya, harapan itu terlaksana. Sampai hari ini Asuddin tetap setia berkunjung ke dusun-dusun di Desa Bayan, mengumpulkan anak-anak, dan mengajarkan mereka membaca.
“Sekitar sebulan setelah program ditutup, gempa besar terjadi. Rumah saya roboh. Tapi kemudian saya tergerak kembali setelah menyaksikan anak-anak korban gempa banyak yang trauma,” jelas Asuddin.
Lalu boks merah berisi buku ‘warisannya’ ditarik keluar dari reruntuhan bekas gempa. Dan mulailah Asuddin berkeliling dengan motornya.
“Ini motor saya beli sebelum gempa. Harganya 3 jutaan. Mulai sering mogok, tapi terus menemani saya ke mana-mana membawa buku,” katanya.
Bagi Asuddin, gerakan literasi sangat cocok digunakan di Desa Bayan, “karena di sini angka anak-anak belum bisa calistung masih tinggi,” terangnya.
Laki-laki berkulit sawo matang dan bertubuh ramping ini senang bercerita, dan nampak selalu merendah diri karena pendidikannya. Dia selalu berkali-kali mengatakan, saat ini orang-orang pintar di desa seharusnya lebih peduli soal literasi ini.
“Saya tidak punya uang untuk bersedekah, mungkin dengan jalan literasi ini saya bisa bersedekah,” kata Asuddin.
Sejak dia menjalankan kegiatan literasinya, melalui postingan yang diunggah di media sosial miliknya, dia mulai dikenal dan berdatanganlah bantuan dalam bentuk buku atau pembangunan berugak dan tenda tempat Asuddin bisa mengumpulkan anak-anak untuk membaca. Meski untuk kebutuhan di lapangan dia sendiri yang membeli ATK dan jajan untuk anak-anak yang dia kumpulkan.
Dari situ kepercayaan dirinya mulai muncul. Meski tetap saja ada yang menganggap apa yang dia lakukan itu ‘gila’. “Kadang ada teriak ketika saya membawa boks berisi buku-buku, “jualan apa itu?”, ya saya jawab saja, “jualan ilmu”’,” kisah Asuddin.
Tidak ada nada rasa putus asa dalam cerita Asuddin. Dia tidak khawatir akan rezeki dan pekerjaan. Dia memiliki sawah dan kebun berisi padi, pohon alpukat, dan vanili. Jadi gerakan literasi yang dijalankannya lima tahun terakhir ia biayai dari hasil pertaniannya, juga dari menjual tuak manis
“Jadi kalau pagi saya bekerja, sore menggerakkan “PERPUSTAKAAN KELILING”, dan malam hari saya mengajar anak-anak mengaji,” jelas Asuddin.
Keinginan Asuddin sederhana. Harapannya ke depan, dia ingin apa yang dia lakukan ini bisa digerakkan oleh generasi muda desa, dan komunitas-komunitas di luar desa bisa ikut membantu. “Karena gerakan literasi ini bisa menyaring dampak buruk permainan atau games dari gadget,” kata Asuddin.
1 Komentar